Thursday, May 22, 2014

Sugeng Enjing Kanjeng Nabi ((Retouch Tulisan Lama))

Wihartoyo     Thursday, May 22, 2014    
(Arif Wibowo)


“Sudahlah rif, sepertinya semua upaya telah aku lakukan, namun mengapa sekedar sapa dari Nya tak pernah kudapatkan,” sambil dibantingkan tubuh setengah tambunnya itu ke kasur tipis ala Palembang yang banyak di jual di pinggir jalan. Saya sendiri sambil membayangkan...ngek...pasti tulang iganya memaki, karena mendarat di bantalan padat. Namun itu semua tertutup oleh kegalauan yang terlihat sangat dalam. “Bayangkan rif, setelah aneka teori dialektika itu kudapatkan, pikiranku kini mulai mengajak ingkar pada Nya, tinggal benteng emosionalku yang tersisa, sebab ketika kecil aku akrab semua cerita tentang Nya. Aku sudah malas sholat, tapi jiwaku menolaknya, salahkah jika pada saat kristis seperti ini aku mengharapkan sapa Nya, langsung dari Nya, sehingga bisa kutanggalkan semua racun yang sudah terlanjur bersarang di pikiran.”

Aku hanya bisa mengangguk-angguk, tak biasanya teman main ceki ku ini begitu serius pembicaraannya. Susahnya lagi, mengapa pertanyaan yang seharusnya untuk Al Ghazali itu dicerocoskan kepadaku, yang Al Qur’an saja, nggak mesti setahun sekali khatam, apalagi dengan kebiasaan mempercepat wirid pasca sholat, yang hobi bangun malam hanya untuk fessbuk an. Tapi, tidak tega rasanya kalau aku mau bilang, “leh mu takon ki kliru wong”. Wajah centhengnya yang biasa garang, kalau tertawa terbahak sampai aroma slilit giginya menyebar kemana-mana, kini terlihat begitu mellow.

Hening sesaat, kubiarkan ia mengisap dalam sisa puntung rokok yang mungkin ia ambil di asbak depan. Kliwir, demikian ia biasa dipanggil, lahir dari keluarga taat ber Islam. Sholat jama’ah di masjid, TPA (hanya istilah, soalnya jaman dulu belum ada TPA, tempat ngaji biasanya di suraunya pak Kyai) di waktu kecil.

Anekseni ingsun ing dalem atiningsun kelawan i’tiqad kang kukuh,
Satuhune ora ono pengeran kang sinembah, kejaba Allah Ta’ala,
Anekseni ingsung ing dalem atiningsun kelawan i’tiqad kang kukuh,
Satuhune Kanjeng Nabi Muhammad iku utusane Gusti Allah,
Den utus marang sekabeyane makhluk, jin, syetan lan malaikat,”

Syair yang berisi makna syahadat itu merupakan puisi pembuka setiap mau mengaji. Masih kuingat juga, bulu kuduk kami selalu merinding kalau menyanyikan pujian

“kretane kereta jawa, rodane roda manungsa, Jujugane mlebu guwo, tanpa kasur tanpa kelasa, tangga-tangga pada tandang pada nangis kerasa sayang.” Disamping ritual yang kami tunggu-tunggu aneka konsumsinya, yaitu pembacaan barzanji di malam selasa dan yasinan di malam jum’at.

Seiring berjalannya waktu, aku dan Kliwir memilih jalan yang berbeda, watak beraninya menuntunnya untuk bertualang dari demo ke demo, satu kelompok diskusi ke kelompok diskusi sedangkan aku yang dijejali bahwa syurga tujuan utama dalam ber Islam, bertualang mecari syurga dari satu kajian ke kajian yang lain, dari satu harakah ke harakah lain. Sempat jatuh dalam bimbang ketika saat itu aku diberitahu bahwa amalan masa kecilku justru akan menjerumuskanku ke neraka. Al Barzanji, yasinan, selikuran di malam ramadhan bahkan cara sholatku pun di telanjangi habis-habis an. Ya Allah, beruntunglah diriku yang sempat terselamatkan, gumamku saat itu. Ada keasyikan tersendiri ketika pikiranku dijejali amarah dan makian terhadap sistem syaithan yang melingkupi. Dalam majelis itu kubayangkan bahwa kami akan menjadi garda depan pahlawan-pahlawan Islam, menegakkan Khilafah Islamiyah dan mendakwahi orang-orang yang masih jahiliyah.”

Namun seiring berjalannya waktu, entahlah kebosanan juga mulai melanda diriku, kualihkan bacaan An Nabhani dan Sayid Quthub pada Madilog nya Tan Malaka, sedikit-sedikit mulai kenikmati Marx yang memang nakal dan lihai dalam mencela. Namun aku tidak separah Kliwir, sebab lingkunganku, teman diskusiku adalah orang-orang yang ta’at dalam beragama. Ketika hampir tergelincir, tiba-tiba seorang teman menyodoriku buku “Membangun Jalan Tengah” karya Aliya Ali Izetbegovich yang membuatku kembali jatuh cinta pada Nya. Di tangan Izetbegovich Islam, Dia tampil penuh puisi dan keindahan rasa, tidak lagi hanya berwajah garang yang menantang setiap kenyataan. Tapi Kliwir, yang menjadi modal darinya hanyalah pengetahuan tentang sholat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, zakat (fithrah), dan haji bila mampu, dengan bekal itu ia melanglang buana ke rimba yang masih sangat liar, sarang para penyamun.

Dalam terpaku mencari jawaban untuk temanku itu, sayup-sayup kudengar alunan al barzanji yang dulu akrab di telingaku saat kecil. Entah mengapa tanganku bergerak ke rak buku, mencari aneka buku tentang makhluk Agung bernama Muhammad yang aku pernah punya atau pinjam tapi belum kukembalikan. Aneka penulis menuliskan sosok agung itu dalam cita rasa yang berbeda, mulai dari Karen Amstrong, Anemarie Schiemel, Idrus Shahab, Haekal sampai buku yang pertama kali aku punya 25 kisah Nabi dan Rasul. Entah mengapa, hatiku tidak bisa menutupi kerinduanku pada alunan dan bait-bait barzanji itu, padahal tahu artinya pun aku tidak. Ya Rasul, kenapa untaian kata asing yang tak kupahami maknanya ini bisa sedemikian membangkitkan rindu ku pada mu ? Inikah sepenggal rasa syafa’at itu ?

Perlahan kudekati Kliwir, dan kami kembali saling berkisah tentang masa kecil, melupakan peliknya Tuhan yang telah difilsafatkan. Pernah kami dihukum Pak Haji karena menembunyikan sandal teman, atau dijedhutke makhluk hitam tinggi karena kami bermain di tempat wudhu padahal sholat jama’ahnya sudah dimulai. Dan kami ingat, dalam keawaman kami, kami tidak pernah melewati Muhammad dalam perjalanan menuju Nya. Akhirnya betapa kami sadar bahwa tidak mungkin kami merengkuh cinta Nya, tanpa cinta dari Muhammad. Peneduh di Mahsyar nanti juga diberikan karena syafa’at sosok Agung itu. Bukankan Muhammad satu-satunya manusia yang pernah beraudiensi dengan Nya, Allah azza wa jalla, yang hanya terkena sepercik sinar Nya, Musa penakluk Fir’aun yang perkasa itu tersungkur, pingsan tak berdaya. Sementara Muhammad diberi keluasan untuk menyampaikan sikapnya langsung di hadapan Nya.

Teringat kisah yang disampaikan ustadz Hamid, ketika sepeninggal Rasulullah, ada seorang Badui yang datang kepada sahabat Umar bin Khattab untuk meminta penjelasan tentang Muhammad Rasulullah, Umar yang biasanya garang itu langsung menangis tersedu. Kemudian orang badui tersebut pergi kepada sahabat Bilal, mendengar pertanyaan itu Bilal menangis keras. Bahkan muadzin pada masa Rasulullah itu tidak sanggup untuk mengumandangkan adzan lagi, ketika sampai "Asyhadu ana Muhammadur Rasulullah", tenggorokannya langsung tercekat, tak mampu lagi melanjutkan adzan, dan bersambung dengan tangisan. Kemudian badui tersebut pergi kepada sahabat Ali, dengan diplomatis Ali menjawab, "Tolong ceritakan kepadaku tentang keindahan semesta alam ini." Badui tersebut hanya terdiam, Ali kemudian menyambung, "begitulah keindahan seorang Rasulullah." Belum puas, badui tersebut pergi ke Ummul mukminin Aisyah, dan dijawab dengan singkat tapi penuk makna "Akhlaq Rasulullah adalah Al Qur'an."

Bukankan kemudian menjadi naif, jika kita mencari Nya melalui para filosof yang hanya bersilat kata, para pedangang yang mengkalkulasikan Nya hanya dalam hitungan pahala dan dosa, atau seberapa besar rupiah yang diterima pasca sedekah di acara pengajian tadi malam. Atau celoteh para penyair yang merasa tahu semua tentang Nya, hanya karena ia sudah diaulat sebagai anggota komunitas Budaya. Saat itu juga, kulacak lagi aneka MP3 sholawat yang lama kusimpan karena kubid’ahkan. Setelah copy paste selesai, kami terbuai larut dalam keindahan yang pernah kami rasakan tentang Islam..

Kangen pasuryan paduka..
Kanjeng Nabi kang angon..langit lan bumi..
Kuthane berkah lan ngelmu...
Endah tan kinaya ngapa..
Kekasihing Gusti ingkang Maha Luhur
Dhuh Nabi nyuwun margi..
Tresno lahir, trusing batin...

Lantunan tembang pangkur kerinduan dari Emha Ainun Najib itu, sungguh indah, aku rindu pada mu ya Muhammadku, darimulah ku kan tahu hakekat yang Sejati itu.

Boyolali, 12 Juli 2009

Tuesday, May 13, 2014

Atas Nama Pemberadaban (dan Investasi ?)

Wihartoyo     Tuesday, May 13, 2014    
Sudah sejak 3.000 tahun sebelum Masehi, bangsa Dravida, sebuah bangsa yang berkulit hitam mendiami Lembah Sungai Indus yang subur di India. Jumlah mereka tak sedikit, diperkirakan 100 juta jiwa (1). Komunalitas, harmoni dan keselarasan dengan alam, yang menjadi ciri khas ras kulit berwarna yang juga para petani itu, tiba-tiba harus terusik. Bahkan kemudian tersingkir. Ketika Bangsa Arya, yang datang melalui Pas Kaibar dari stepa Kaukasia yang sudah mereka tinggali sejak 4.500 tahun sebelum Masehi.
Bangsa Arya, kaum penggembala yang sederhana dan suka kedamaian itu mulai berubah, ketika di sekitar 1.500 tahun sebelum Masehi mereka berhasil menaklukkan kuda padang stepa dan mengikatkannya pada kereta, mereka mengalami kenyamanan mobilitas. Alat tansportasi itu mereka padukan dengan ilmu persenjataan yang mereka dapat dari orang-orang Armenia. Dengan peralatan perang yang bisa bergerak cepat itu, mereka bisa melakukan serangan kilat kepada para tetangga dan mencuri ternak serta tanaman mereka. Mereka kemudian mengangkat dewa baru, yakni Indra, sosok heroik si penyembelih naga yang mengendarai kereta perang di atas awan-awan langit lengkap dengan panah apinya. Para koboi Arya merasakan diri mereka bersatu dengan Indra dan kalangan dewa-dewa agresif yang bertugas menegakkan keteraturan dunia dengan kekuatan senjata (2) .
Proses kejatuhan bangsa Dravida ini kemudian diabadikan oleh Walmiki, sastrawan besar Arya, dalam epos Ramayana. Kejatuhan Dravida bukanlah kejahatan, sebab ia bukan kolonialisme. Dravida adalah kaum primitif yang hidup dengan teknologi sederhana, watak hidup harmoni telah menjadikan bangsa Dravida sebagai kaum lemah, yang memang pantas dilindas zaman sesuai prinsip seleksi alam,struggle for life. Arya datang untuk memberadabkan Dravida. Sosok Rama yang tinggi besar, atletis, berkulit putih, tampan dan baik hati itu adalah pahlawan yang bertugas melepaskan kaum Dravida dari Rahwana, rajanya yang jahat, berkepala sepuluh dan suka makan daging manusia (3).
Untuk menjaga stabilitas pasca penaklukan, maka kaum Arya mendaulat diri mereka sebagai Brahmana dan Ksatria, dua kasta tertinggi dalam agama baru mereka. Brahmana adalah pusat semesta, tempat hukum dan kebijaksanaan lahir, dan Ksatria adalah para pelaksana kekuasaan dunia. Mereka mewakili Brahma sang pencipta dan Wisnu sang penjaga. Kaum Dravida tetap harus dicurigai, sebab mereka adalah pengikut Syiwa sang dewa perusak yang berkulit hitam. Oleh karena itu, mereka hanya pantas menyandang gelar paria, kaum budak, pekerja kasar, buruh panggul, dan mungkin centheng lahan parkir adalah jabatan tertinggi bagi mereka. Kaum Dravida yang bersedia mengikuti tata hidup Arya diberi kesempatan untuk masuk ke dalam kasta Sudra (4) , tempat para pedagang berkumpul dan beraktifitas. Gegar politik penaklukan itu terasa di India modern yang katanya demokratis itu. Kaum Dravida yang berkulit hitam, kerempeng dengan dahi berkerut karena tekanan hidup masih merupakan wajah utama dari kampung-kampung miskin dan kumuh di India.
Kegemaran berperang kaum Arya, juga membawa mereka bergerak untuk menaklukkan bumi nusantara. Sebuah kepulauan tempat para pelaut ulung. Di era 500 tahun sebelum masehi, nekara perunggu, salah satu produk unggulan kepulauan nusantara, telah menembus pasar Afrika. Teknologi kapal para pelaut nusantara menyebabkan perdagangan internasional pada saat itu, bahkan kerajaan besar seperti China, sangat tergantung pada pelaut nusantara. Hal ini dikemukakan dengan apik oleh Robert Dick Read dalam buku Para Penjelajah Bahari, yang sudah diterbitkan oleh Mizan. Komoditas para pelaut nusantara makin beragam, tak hanya nekara perunggu tapi juga emar yang dihasilkan di Swarnadwipa bahkan pertambangan emas tertua di Afrika, yakni di Zimbabwe, konon di bangun oleh para pelaut nusantara. Ada juga komoditas beras yang berpusat di Jawadwipa, rempah-rempah dari Maluku dan parfum untuk para Raja yang hanya bisa diproduksi di Barus Sumatera.
Kekayaan Alam nusantara itu membangkitkan kembali semangat penaklukan kaum Arya. Pergolakan di India Selatan, akhirnya mengantarkan pasukan Arya yang tersingkir masuk ke kepulauan nusantara. Prinsip-prinsip hidup komunal, harmoni dalam masyarakat nusantara akhirnya berganti dengan konsep negara yang hierarkhis dibawah persekongkolan kaum Brahmana dan Ksatria. Di Kalimantan muncul Kutai Kertanegra, di Jawa Barat muncul Tarumanegara, di Palembang berdiri Sriwijaya. Nama-nama baru yang masih bertutur dan menulis dengan bahasa ibu mereka di India Selatan, berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta (5). Dan sekali lagi untuk itu, mereka menciptakan lagi mitos pemberadaban. Penaklukan itu, ditujukan untuk masyarakat nusantara yang primitif, yang tidak punya daya saing, yang masih bodoh. Kalau penaklukan Dravida oleh kaum Arya diabadikan dalam epos Ramayana, penaklukan atas Rahwana. Maka “pemberadaban” nusantara dilakukan oleh seorang bangsawan terdidik yang bernama Aji Saka, yang mengajari baca tulis dan membebaskan nusantara dari rajanya yang jahat, yakni Prabu Dewata Cengkar, yang hobi makan daging manusia.
Sebuah epos yang beraroma plagiasi yang anehnya kini harus diamini.
(Bersambung ke hilangnya kultur Maritim Bangsa Indonesia ... entah kapan nulisnya).
Rujukan :
1. H.J. Van Den Berg dkk, Dari Panggung Sejarah Dunia (Djakarta – Groningen : J.B. Wolters, 1952) hal. 17
2. Karen Amstrong, The GreatTransformation, Awal Sejarah Tuhan, (Bandung : Mizan, 2006) hal. 6-7.
3. Untuk mendapatkan kisah lengkap penaklukan Alengkadiraja oleh Rama bisa dibaca di buka Rahuvana Tatwa karya Agus Sunyoto.
4. Van Den Berg, Idem, hal. 19
5. Untuk membaca lebih lengkap tentang kolonialisme bangsa India ke nusantara silakan baca buku karya Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal di Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Pra Sejarah – Abad XVI), (Yogyakarta : Mitra Abadi, 2006).

ASELI COPAS DARI TULISANNYA YAI ARIF WIBOWO

Recommended