Tuesday, June 30, 2015

Menangislah Para Suami

Wihartoyo     Tuesday, June 30, 2015    

Terkejut Fathimah binti Abdul Malik mendapati suaminya, Umar bin Abdul Aziz, tengah menangis terisak-isak di kamar. Padahal, ia baru saja dilantik menjadi khalifah (kepala negara).

‘’Ada apa, suamiku?’’ tanya Fathimah sambil memeluknya.
Terbata-bata Khalifah Umar bin Abdul Aziz menuturkan:
Celaka aku, dinda Fatimah! Aku tak bisa mengelak dari tanggungjawab untuk memimpin umat. Lalu aku memikirkan nasib orang fakir yang lapar, orang sakit yang kehabisan obat, orang yang tidak mempunyai pakaian, anak yatim, orang yang dizhalimi, orang asing, tawanan, para tua renta, janda kesepian, keluarga besar dengan penghasilan minim, dan banyak lagi yang lainnya di seluruh penjuru negeri.
Aku tahu bahwa Tuhanku akan bertanya tentang hal mereka semua pada Hari Kiamat. Ketika itu pula Nabi Muhammad akan meminta pertanggung jawabanku. Aku takut kalau aku tidak bisa menjawabnya” (Jalaludin As Suyuthi, Tarikh Al Khulafa: 270).
Seperti para pendahulunya, Umar bin Abdul Aziz lelaki yang gampang menangis. Kakeknya, Umar bin Khattab, pun acap menangis dalam shalat. Abdullah bin Syaddad ra menuturkan, “Aku pernah mendengar isak tangis Umar, padahal ketika itu aku berada di shaf paling belakang pada shalat shubuh yang diimaminya. Ketika itu ia sedang membaca surat Yusuf 86. Dia terus menangis hingga air matanya menetes diantara kedua kakinya.”
Lelaki mukmin menangis, bukan hal aneh. Hatta lelaki gagah-perkasa semacam Umar bin Khattab sekalipun. Bagi kaum beriman, menangis adalah sebuah ekspresi spiritualitas. Seperti disitir dalam Al Qur’an: ‘Bila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur bersujud dan menangis’’ (Maryam [19]: 58).
Karena itu, sebagaimana dikemukakan Rasulullah SAW, kekuatan pengendalian diri justru disertai tangisan. Bahagialah, kata Nabi, orang yang bisa menguasai dirinya, dilapangkan rumahnya, dan dibuat menangis oleh kesalahannya (HR At Thabrani dari Tsauban ra).
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW mengabarkan, ‘’Siapa mengingat Allah kemudian keluar air matanya karena takut kepada Allah hingga bercucuran jatuh ke tanah, maka dia tidak akan disiksa di Hari Kiamat kelak’’ (HR Hakim dari Anas ra).
Karenanya, jauh sebelum kedokteran modern merumuskan terapi menangis dengan alasan kesehatan fisik maupun psikologi, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah sudah merekomendasikan agar orang menangis. Bahkan jika tak mampu keluar airmata, berusahalah terus untuk menangis.“Menangislah kalian karena takut kepada (azab) Allah. Jika tidak bisa menangis, pura-puralah kalian menangis,” kata Sang Imam (Zaadul Ma`ad:1/184).Beliau merujuk pada perilaku Umar bin Khattab raSuatu hari, Umar memergoki Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra sedang menangis berkaitan dengan para tawanan perang Badar. Maka Umar berkata, “Wahai Rasulullah! Kabarkan kepadaku apa yang menyebabkan engkau menangis? Bila aku bisa menangis maka aku akan menangis bersama kalian jika tidak maka aku akan pura-pura menangis karena tangisan kalian berdua.”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu di hari pertama pemerintahannya. Tapi, sejarah membuktikan, Sang Khalifah bukan pemimpin cengeng, yang terpenjara oleh rasa takut lalu tidak berani mengambil risiko. Bukan pemimpin yang rajin mengeluhkan beban sejarah, sambil berkilah dengan keterbatasan waktunya.
Usai dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung mengadakan pembersihan massal. Bukan menyikat lawan-lawan politik, tapi mengembalikan semua harta yang pernah dikuasai elite Bani Umayyah kepada yang berhak. Bila pemiliknya tidak diketahui, harta sitaan itu dikembalikan ke kas negara.
Umar memulai dari dirinya sendiri. Ia melego semua kekayaannya senilai 23 ribu dinar, dan menyerahkannya ke Baitul Maal.
Setelah itu ia membersihkan harta istrinya sendiri yang juga putri mantan Khalifah.
Umar bin Abdul Aziz kemudian juga mencabut fasilitas negara dan hak-hak istimewa yang dinikmati Bani Marwan, serta menyita harta yang dikuasai mereka secara tidak sah.
Muhammad Sayid Muhammad Yusuf dalam bukunya At-Tamkin Lil Umat Islamiyah Fi Dhau’ Al-Qur’anul Karim, mengutip kesaksian Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab. Katanya, suatu hari datang menemui Khalifah Umar bin Abdul Aziz seorang warga dengan harta sangat banyak. Oleh Khalifah, harta itu disarankan untuk dibagikan kepada fakir-miskin.
Orang itu lalu mencari kesana kemari fakir-miskin namun tidak menemui barang seorang pun. Ia lalu teringat pada warga paling miskin diantara mereka, tapi ternyata kini sudah tidak kekurangan lagi.
‘’Sungguh Umar telah membuat semua orang sejahtera,” katanya menyimpulkan.
Hal itu dipertegas oleh kesaksian Yahya bin Sa’id, seorang petugas amil zakat pada masa itu. Sa’id menuturkan: ”Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengutusku untuk mengumpulkan zakat orang Afrika. Lalu aku menariknya dan meminta orang-orang fakir dikumpulkan untuk diberi zakat. Ternyata, tidak ada seorang pun yang mengambilnya” (Ulwan, 1985:2, As-Siba’i, 1981:392).
Di masa pemerintahannya yang hanya 22 bulan (717-720 M), Khalifah ke-8 Bani Umayyah ini sukses mewujudkan kesejahteraan sosial.
Belasan abad kemudian, presiden pertama kita Ir Soekarno pun menangis di hadapan pemimpin Aceh Tengku Daud Beureu-eh. Memohon agar rakyat Aceh memberi dukungan jihad bil maal menghadapi agresi militer Belanda tahun 1948.
‘’Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah; perang menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid,’’ jawab Tengku Muhd. Daud Beureu-eh.
Untuk membiayai PDRI (Pemerintah Darurat RI), Staf Angkatan, serta diplomasi luar negeri, rakyat Aceh menghimpun dana sekitar M$ 20.000.000.
Selain itu, rakyat Aceh yang dimotori Gabungan Saudagar Indonesia daerah Aceh, menghimpun dana 130.000 dolar Singapura plus 5 kg emas 22 karat untuk membeli pesawat Dakota pada Oktober 1948. Pesawat multi-fungsi ini dinamai RI 001 Seulawah dan merupakan cikal-bakal maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia Airways.
Setelah Yogyakarta dapat direbut dan dipulihkan kembali sebagai ibukota RI, lagi-lagi rakyat Aceh mengirim bantuan kepada pemerintah pusat di kota ini. Khusus untuk mengobati Panglima Jihad Jendral Soedirman, Aceh mengirim 40 flacon (botol) obat suntikstreptomicyn.
Tapi, Presiden Soekarno kemudian tak kunjung memenuhi janjinya pada Aceh agar daerah ini dibebaskan untuk menerapkan Syariat Islam. Bahkan dalam pidato di Amuntai, Presiden mengecam keinginan Aceh untuk menerapkan Syariat Islam.
Megawati Soekarnoputri, pada  30 Juli 1999, sesaat setelah partainya memenangkan pemilu secara mutlak, berpidato di Tanah Rencong dengan iringan airmata. “Untuk rakyat Aceh, percayalah, Cut Nyak tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong,” katanya.
Tapi setelah menjadi presiden menggantikan Gus Dur, Megawati justru mengirim 40.000 pasukan darurat militer ke Aceh pada Mei 2003.
Presiden SBY pun menitikkan airmata ketika menerima pengaduan korban luapan lumpur Lapindo Sidoarjo yang difasilitasi Emha Ainun Nadjib. Namun, lewat tahun ketiga tragedi lumpur Lapindo, Presiden sudah berhenti menangis dan banjir lumpur Lapindo terus membludak sehingga ribuan korbannya kehabisan airmata derita. (nb)


Sumber : http://www.ulilalbab.co/menangislah-para-suami.html

,

Recommended