Friday, October 28, 2016

Anakku Belum Saatnya Mati

Wihartoyo     Friday, October 28, 2016    

Oleh: John Bon Bowie


“Ummi….Ummi…dede Luthfi…Ummi…dede Luthfi…….kecebul empang!” terbata-bata Chairi, bocah berusia 4 tahun itu, melapor pada ibunya yang tengah mengikuti pengajian, Kamis (16/4/2009). Spontan, Sri Wahyuni, ibu 3 anak yang dipanggil Ummi tadi, loncat dan berlari sekuat tenaga ke arah empang dimaksud. Demikian pula para guru Yayasan Kebon Maen Bocah Bogor dan Ustadz Ojo Sujono, serentak berhamburan keluar kelas. Masya Allah, Sri Wahyuni melihat anak bungsunya, Muhammad Ibrahim Luthfi (2) sudah tengkurap mengambang di kolam lele. Ia rupanya ‘’lolos’’ dari pengawasan orang dewasa, lalu masuk ke kolam kecil sedalam hampir satu meter yang tak berpagar sempurna. Tanpa pikir panjang, Wahyuni terjun ke empang dan meraih tubuh anaknya yang sudah membiru kaku.

Foto Ilustrasi
Tak ayal, suasana pengajian yang semula khusyu berubah riuh dengan tangis dan jerit panik para guru yang semuanya perempuan. “Bagaimana ini? Bagaimana ini. Segera ke rumah sakit?” Ustadz Ojo Sujono berseru kebingungan sambil membopong tubuh si bocah. Di saat genting itu, sebersit ingatan terbayang oleh Ustadzah Nur. Cucu seorang paraji ini pernah memperhatikan bagaimana neneknya dulu menangani kelahiran jabang bayi yang terbekap air ketuban. Tindakan yang sama oleh bidan juga pernah dia lihat. Serentak Ustadzah Nur meraih Luthfi dari gendongan Ustadz Ojo. Dipegangnya kedua kaki bocah, lalu diangkatnya ke atas sehingga posisinya menggantung dengan kepala di bawah. Lalu ditepuk-tepuknya punggung Luthfi dengan agak kuat. Currr... alhamdulillah, air butek empang mengalir keluar dengan deras dari mulut, hidung, dan telinga Luthfi. Uuuh, uhh, Luthfi tampak bereaksi. Ustadzah Nur pun membopongnya dengan posisi normal. Tapi, Masya Allah, tubuh Luthfi sudah kaku dan membiru, detak jantungpun sudah tak terdengar lagi.

Melihat kondisi anak bungsunya, Sri Wahyuni hanya bisa menangis sambil sebisanya melafalkan Asmaaul Husna. Para tetangga berdatangan, sebagian lalu mencari kendaraan untuk membawa Luthfi ke dokter terdekat. Dengan naik motor, Luthfi dikebut ke klinik terdekat oleh seorang wali santri. Sepanjang jalan, Sri Wahyuni memeluk kencang tubuh putranya seraya berupaya pasrah. Mulutnya tak henti melafal Asmaul Husna ke telinga anaknya.
Karena kondisi pasien sudah kritis, tiga klinik pertama yang dituju tak sanggup menerimanya. “Katanya, mereka tidak punya alatnya,” tutur Guru Balistung Bocah Taqwa, Pondokmiri, Bogor ini. Alhamdulillah, akhirnya Luthfi diterima di Pamulang Medical Center. Hidungnya dipasangi saluran Oksigen. Tak lama kemudian, Luthfi spontan menangis kencang. Saluran pernafasannya sudah normal kembali. Setelah diberi obat penenang, si bocah tertidur pulas. Kondisinya pun berangsur pulih.

Subhanallah, sungguh semua itu pertolongan Allah SWT semata. Bagaimana tidak, Luthfi sudah tersumbat saluran pernafasannya hingga puluhan menit. Menurut perhitungan manusia, dia mestinya tak bisa bertahan.Tak terkira rasa syukur dan bahagia Sri Wahyuni. Peristiwa ini mengingatkannya untuk tak lengah mengasuh si kecil. Begitu pun, pagar empang yang sudah berusia empat tahun itu lalu disempurnakan agar tak ada korban kedua. Wahyuni juga kian merasakan keajaiban menyedekahkan sebagian hidupnya untuk mendidik anak-anak dhuafa di kampungnya. Padahal, kalau mau, ia bisa mengajar di tempat lain dengan gaji yang jauh lebih baik. Namun hatinya lebih nyaman berada di Kebon Maen Bocah di bawah binaan PPPA Daarul Qur’an. Di sekolah rakyat ini, para guru memang mendidik dengan hati.

, ,

Recommended