Sekedar tanggapan saya sebagai orang jawa tentang gonjang-ganjing kraton Ngayogyokarto Hadiningrat
Nama Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, belakangan ini semakin melejit dengan lahirnya Sabda Raja yang mengukuhkannya menjadi puteri mahkota calon pewaris tahta kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat. Sabda Raja ini sontak menjadi pembicaraan hangat, bukan hanya di sekitar Ngayogyokarto Hadiningrat, namun termasuk saya yang tinggal di mBogor juga ikut-ikutan ngoceh.
Saking ku keukeuhnya, ingkang sinuwun bahkan berani merubah gelar yang secara hukum berpotensi menghilangkan tampuk kepemimpinan di Jogjakarta. Karena dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY kepala daerah disebutkan lengkap dengan gelarnya. Dan bila gelar baru tetap dipertahankan tanpa merubah teks UU tersebut, maka gak ada yang syah di negeri ini, saat ini untuk menjadi kepala daerah di DIY.
Dan, kalo mau jujur, pemberian gelar GKR Pembayun itu sebenarnya juga sudah memberikan pertanda bahwa ingkang sinuwun dari awal nggak bakal memberikan tahtanya kepada siapa-siapa. Dia hanya percaya pada keluarga intinya sendiri. Otomatis puteri tertuanyalah yang bakal dia 'paksa' untuk menjadi raja. GKR Pembayun, nama ini mengingatkan kita kepada kisah pemberontakan dari seorang ketrurunan Brawijaya ke-5 yang bernamaw Ki Ageng Mangir Wanabaya. Seorang yang jatuh cinta dengan seorang tledhek yang ternyata adalah Retno Pembayun sang penerus tahta Panembahan Senopati. Seorang perempuan korban keganasan ontran-ontran karena hasrat politik ayahandanya.
Kisah cinta Retno Pembayun dan Ki Ageng Mangir Wanabaya sudah sangat-sangat masyhur, sehingga saya tidak merasa perlu untuk menuliskan di sini. Hanya satu hal, bahwa memang ada kesamaan bahwa penerus tahta Panembahan Senopati adalah seorang perempuan yang bernama Retno Pambayun. Sementara HB X sepertinya memang sudah serius untuk mempersiapkan putri sulungnya sebagai penerus tahtanya. Namun harus diingat juga bahwa HB IX itu entah sengaja atau tidak sengaja memang hanya mempunyai isteri hanya sebagai garwa ampil alias selir. Dan naik tahtanya HB X juga atas kesepakatan seluruh kerabat keraton, karena praktis memang HB IX tidak meninggalkan putera mahkota. Artinya, dalam kondisi saat ini HB X tidak mempunyai seorangpun anak laki-laki, semestinya, jika dia memang seorang pemimpin sejati, maka dia harus mendengarkan pendapat saudara-saudaranya. Bukan malah jalan sendiri. Dan disamping itu, ada satu lagi pihak yang harus didengar pendapatnya. Rakyat. Ya, rakyat Jogjakarta harus pula didengar suaranya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY juga adalah buah dari perjuangan rakyat Jogjakarta selama 9 tahun.
Semoga GKR Pembayu tidak mengalami nasib seperti pendahulunya
Semoga GKR Pembayu tidak mengalami nasib seperti pendahulunya
0 komentar :
Post a Comment