![]() |
Image: Istimewa |
Menurut Wakil Ketua Pansus Yandri Susanto, keterlibatan orang partai di dalam KPU ini untuk meminimalisir kecurangan pemilu. “Masa, 'lu nyurangin saya, sayanya ada lho di situ'. Daripada katanya dicari-cari yang sok independen ternyata bisa dibeli,” ujar politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu, di Senayan, pekan lalu.
Usul Pansus RUU Pemilu langsung menuai pro dan kontra. Partai-partai kebanyakan setuju, sementara berbagai LSM dan tokoh masyarakat menentang. Salah satunya, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Titi menilai usul Pansus RUU Pemilu adalah langkah mundur. “Penyelenggara pemilu 1999 yang terdiri dari perwakilan anggota partai politik peserta pemilu ditambah perwakilan pemerintah justru menimbulkan banyak persoalan dalam teknis penyelenggaraan pemilu,” kata Titi sehari kemudian.
Memang, untuk menyelenggarakan Pemilu tahun 1999, pemerintah Presiden BJ Habibie membentuk KPU beranggotakan wakil pemerintah dan wakil partai politik. Karena pemilu 1999 diikuti 48 partai, maka 48 komisioner KPU berasal dari partai politik, ditambah lima komisioner dari pemerintah. Total, komisioner KPU saat itu berjumlah 53 orang, dipimpin mantan Menteri Dalam Negeri Rudini sebagai Ketua. Namun ternyata mengelola 53 kepala perlu upaya dan tenaga yang luar biasa. Berbagai kelucuan maupun masalah terjadi, termasuk rekayasa rapat tak mencapai quorum, deadlock, ancam-mengancam, hingga dugaan korupsi.
Keanggotaan KPU kemudian diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pemilu. Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2000 diatur bahwa "Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan nonpartisan." Dengan aturan itu, komisioner KPU tidak lagi diisi unsur partai dan pemerintah. Mereka dipilih dalam sebuah proses seleksi.
Para komisioner tahun 2001 - 2007 beranggota para akademisi. Tapi KPU 2001 - 2007 ini bukan tanpa masalah. Ketua KPU dan beberapa komisioner tersandung kasus korupsi. Begitu pula para akademisi yang menjadi Komisioner tahun 2007 – 2012. Masalah yang disoroti adalah soal independensi dan kecenderungan pemihakan kepada petahana. Apalagi beberapa bekas anggota KPU lalu merapat ke partai Demokrat. Komisioner KPU 2013 hingga kini juga banyak dikritisi soal independensi. Beberapa di antara mereka dianggap cenderung dekat dengan salah satu calon presiden yang kemudian terpilih. Jadi semua ada risikonya.
Nah, sebagai gambaran tentang apa yang terjadi dan dilakukan oleh para komisioner KPU tahun 1999, saya akan membagikan tulisan lama saya saat masih menjadi Penanggung Jawab Rubrik Nasional di Majalah Forum Keadilan tahun 1999. Ini sekadar gambaran tentang betapa repotnya mengelola 53 kepala dengan 48 orang berlatar belakang partai yang beraneka ragam ideologi dan kecenderungannya. Lain waktu insyaa Allah saya share juga apa yang terjadi dan dilakukan para komisioner KPU berikutnya…
Silakan…
Sumber: Hanibal Wijayanta
0 komentar :
Post a Comment