Friday, October 23, 2015

AGAR LELE KOYA HALAL DIMAKAN

Wihartoyo     Friday, October 23, 2015     No comments
Suatu ketika, Dr Anton Apriyantono bermaksud makan siang di sebuah warung makan. Ia memesan nasi pecel lele, yang lelenya masih fresh from the pond.
''Saya sudah membayangkan sedapnya makan pecel lele segar. Namun, begitu dimakan, si lele ternyata berasa kotoran manusia,'' kenang Mantan Menteri Pertanian itu. Maka, buyarlah selera makan Pak Anton.
Lele yang beraroma dan berasa tinja, semasa hidupnya dibesarkan dengan pakan berupa kotoran manusia atau binatang. Di Desa Rawakalong, Kecamatan Gunungsindur, Bogor, misalnya, masih banyak warga yang memelihara lele di empang pembuangan tinja di belakang atau samping rumahnya. Disebutnya lele koya.
Di kolam kecil pengganti septic tank itu, lele koya berfungsi untuk mendaur-ulang feces manusia. Dengan demikian, empang tidak cepat penuh tinja, mengurangi bau yang menguar, dan lelenya pun bisa dijual. Tentu saja harga jual lele koya tak setinggi lele liar atau yang dibesarkan dengan pakan pelet.
Ikan Lele
Sejatinya, lele (Clarias batrachus) termasuk pangan hewani yang lezat dan kaya gizi. Setiap 100 gram daging lele (FAO, 1972) mengandung: air (78,5 %), energi, protein, lemak, kalsium, phosphor, zat besi, natrium, thiamin (vit B1), riboflavin (vit B2), niacin, dan asam lemak Omega 3.

Asam lemak Omega 3 adalah asam lemak dengan ikatan rangkap pada posisi karbon nomor 3 dari gugus metil atau disebut karbon posisi omega. Asam lemak ini merupakan precursor dari thrombaxiane A3 dan prostaglandin I3, zat yang sangat efektif untuk mengganti agregasi keping-keping darah. Pencegahan agregasi keping-keping darah dapat memperlancar aliran darah sehingga mengurangi risiko menderita penyakit jantung.

Dari berbagai penelitian ditemukan manfaat lain asam lemak omega 3 mislanya menurunkan tekanan darah, membantu merawat kesehatan kulit terutama dari ekzim dan dermatitis, serta berperan dalam pembentukan cerebral cortese otak.


Al-jallalah
Namun, lele yang tergolong lele koya, tidak bisa langsung disantap. Sebab, ia masih termasuk Al-jallalah (الجلالة).
Secara bahasa, Al-jallalah artinya kelebihan. Makna syar’i nya adalah hewan ternak (sapi, kambing, onta, unggas, ikan) yang makanannya tinja (Kitab Nailul Authar, 8/128).
Menurut sebagian ulama, haram memakan Al-jallalah. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad (Hasyiah Al-Muqni’, 3/529) dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah (Al-Minhaj Syarh Al-Mughni, 4/304). Mereka berdalilkan hadits dari Ibnu Umar ra: Rasulullah SAW melarang memakan jallalah dan meminum susunya’’ (HR Imam Lima kecuali An-Nasa`i dan At-Tirmidzi menghasankannya. Lihat Al-Muntaqa beserta syarahnya dalam Nailul Authar, 8/128).
Namun sebagian ulama lain memakruhkan makan daging Al-jallalah. Pendapat ini berasal dari Mazhab Imam Ahmad, yang paling shahih dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, dan merupakan mazhab Al-Hanafiah (Al-Bada`i’, 5/309).
Dalam pandangan pendapat ini, larangan memakan Al-jallalah tidak berkaitan dengan zat hewan akan tetapi berkaitan dengan sebab lain (pakan yang dikonsumsinya).


Kadar Najis
Para ulama juga berbeda pendapat tentang kadar najis yang menjadi pembatas kriteria al-jallalah.
Pendapat pertama, jika ternak lebih banyak memakan pakan najis daripada pakan lainnya, maka dia baru tergolong al-jallallah. Ini merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah (Al-Muqni’ (3/529), Al-Hanafiah (Al-Bada`i’, 5/39) dan Asy-Syafi’iyah (Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 9/28).
Mereka menyatakan, jika pakan ternak kebanyakan najis maka akan mengubah status dagingnya menjadi haram untuk dimakan sebagaimana makanan busuk (Bada`i’ Ash-Shana`i’).
Pendapat kedua menyatakan, jika ternak banyak (tidak sedikit) memakan najis, maka ia dihukumi sebagai al-jallalah. Ini pendapat lain dalam mazhab Al-Hanabilah (Hasyiah Al-Muqni’, 3/529).

Ulama dalam pendapat ketiga menyatakan, status al-jallalah tidak ditentukan oleh banyak-sedikitnya pakan najis, melainkan dampak atau residu dari pakan najis tersbeut berupa bau. Jika ternak berbau najis (seperti lele berbau tinja) maka dia al-jallalah. Demikian pendapat dari Mazhab Asy-Syafi’iyah (Al-Majmu’, 9/28).


Karantina Halal
Ternak al-jallalah bisa dikonsumsi asalkan sudah melalui karantina pensucian. Selama karantina, mereka diberi pakan dan minuman yang tidak najis. Lele koya misalnya, dimasukkan dalam kolam atau empang air bersih (lebih baik lagi yang mengalir) dan diberi pakan pelet.
Nah, para ulama yang sama-sama mengharamkan jallalah, berselisih menjadi beberapa pendapat mengenai jangka waktu karantina hewan jallalah.

Menurut pendapat dari Mazhab Asy-Syaifi’i, karantina dilakukan sampai jejak najisnya (rasa dan bau) hilang. ‘’Tidak batasan waktu tertentu dalam penentuan kadar lamanya, yang menjadi patokan adalah waktu yang diketahui dengan kebiasaan atau sangkaan besar bahwa bau najisnya sudah hilang’’ (Al-Majmu’, 9/28).

Pendapat kedua menentukan batas waktu karantina adalah tiga hari, baik untuk jenis unggas maupun lainnya. Ini salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan merupakan pendapat Abu Hanifah dalam masalah ayam tapi dia hanya menghukuminya sunnah.
Pendapat ketiga, unggas al-jallalah dikarantina selama tiga hari, kambing tujuh hari, dan selainnya selama 40 hari. Perincian ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.


Tarjih
Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc, hukum memakan daging jallalah yang rajih (lebih kuat) adalah haram, karena jelasnya pelarangan yang ada serta tidak ada satu pun dalil yang menafikan.
Adapun yang menjadi patokan dalam sifat jallalah, maka yang rajih adalah jika kebanyakan (dominan) makanannya adalah najis. Ini terambil dari lafazh jallalah, yang menunjukkan makna mubalaghah (berlebihan) yang memberikan pemahaman makna ‘yang terbanyak’.

Adapun lama waktu kurungannya, maka yang rajih adalah tidak ditentukan, tapi kapan menurut sangkaan besar bahwa bekas najis itu sudah hilang darinya. Karena pembatasan waktu tidak ada dalilnya, sementara tujuannya adalah menghilangkan jejak najisnya. (nurbowo)

0 komentar :

Monday, October 19, 2015

Peristiwa Hijrah Rasulullah SAW

Wihartoyo     Monday, October 19, 2015     No comments
Memperingati tahun baru hijrah tidaklah terlepas dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya (kaum Muhajirin Makkah) serta para penolongnya (kaum Anshar Madinah). Mereka ini disebut golongan As-sabiqunal Awwalun (generasi pertama) Islam. Allah SWT memuji mereka serta menjamin surga yg kekal bagi generasi ini serta orang2 yang mengikuti jejak mereka dengan baik.
Peristiwa Hijrah (Ilustrasi)

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS At Taubah: 100)
Rasulullah SAW juga menyebutkan bahwa mereka adalah generasi terbaik umat ini:

خَيْرُ أُمَّتِي الْقَرْنُ الَّذِينَ يَلُونِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Se-baik2 umatku adalah generasi yang berjumpa denganku, lalu generasi berikutnya lalu generasi berikutnya. (HR Bukhari 6.166 & Muslim 4.599)

Di antara kaum Muhajirin ada 10 nama yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW diberi kabar gembira dengan surga (mubasyariina bil jannah) yaitu: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhal bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Sa’id bin Zaid, dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah (HR HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, Thabrani, Al Baghawi, Baihaqie, Abu Ya’la dan Ibnu Abi Syaibah)
Allah SWT menggambarkan hubungan Kaum Muhajirin dan Anshar sbb:
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (Al Hasyr [59]: 9)

Adapun kaum Anshar menempati posisi yang mulia spt disebutkan dalam sabda Nabi SAW:

حُبُّ الْأَنْصَارِ آيَةُ الْإِيمَانِ وَبُغْضُهُمْ آيَةُ النِّفَاقِ

Mencintai kaum Anshar adalah tanda iman dan membenci mereka adalah tanda munafik (HR Bukhari no. 16 dan Muslim no. 109). Menariknya, keduanya juga sepakat memasukkan hadits ini dalam Kitab Al Iman.

Dalam Al Quran jika disebutkan “Orang-orang beriman” maka pd saat ayat ini turun tdk ada orang lain yg dimaksud selain Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Ibnu Hajar dlm kitab Al Ishobah (1/10) menyebutkan bhw yg dimaksud sahabat adalah:
Orang yg berjumpa dengan Rasulullah SAW, beriman kepadanya dan wafat dalam keadaan beragama Islam.
Sebesar apa jasa para sahabat Nabi SAW terhadap agama ini? Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya (HR Bukhari 3.397 dan Muslim 4.610)
Satu mud itu kurang lebih satu genggam (biasanya untuk gandum atau makanan). Pendapat lain mengatakan satu liter. Adakah di antara kita yg berinfaq emas sebesar gunung Uhud? Tinggi Gunung Uhud sekitar 350 meter dengan panjang masing2 sisi antara 2 – 4 km. Kalau ada… maka itu blm mencapai nilai satu atau setengah mud infaq yg dilakukan oleh para sahabat.
Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita adalah haq dan Al-Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah para sahabat Rasulullah. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kaum Rafidhah lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah orang-orang zindiq.” (al-Kifayah; al-Khathib al-Baghdadi hlm. 49).

Zindiq dalam Mu’jam Al Wasith artinya atheis. Dalam Ensiklopedi Imam Syafi’i hal. 92 disebutkan: yg dimaksud zindiq adalah orang2 Majusi yang pura2 masuk Islam. Lahirnya Islam, tp hatinya masih setia dengan agama Majusi dan menyimpan dendam thd Islam.
Ibnu Hazm menyatakan:

Sesungguhnya syiah rafidhah tidaklah termasuk golongan kaum muslimin. Mereka adalah kelompok yang berjalan diatas jalanya yahudi dan nashara dalam kedustaan dan kekufuran (Al Milal wan Nihal 2/65)
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
Barangsiapa yang menghina para sahabat, aku takut dia akan menjadi kafir sebagaimana syiah rafidhah. (As Sunnah; Abu Bakr bin Al Khallal 1/493)
Wallahu a’lam bish-shawab

(Fahmi R. Kubra)

0 komentar :

Recommended