Suatu ketika, Dr Anton Apriyantono bermaksud makan siang di sebuah warung makan. Ia memesan nasi pecel lele, yang lelenya masih fresh from the pond.
''Saya sudah membayangkan sedapnya makan pecel lele segar. Namun, begitu dimakan, si lele ternyata berasa kotoran manusia,'' kenang Mantan Menteri Pertanian itu. Maka, buyarlah selera makan Pak Anton.
Lele yang beraroma dan berasa tinja, semasa hidupnya dibesarkan dengan pakan berupa kotoran manusia atau binatang. Di Desa Rawakalong, Kecamatan Gunungsindur, Bogor, misalnya, masih banyak warga yang memelihara lele di empang pembuangan tinja di belakang atau samping rumahnya. Disebutnya lele koya.
Di kolam kecil pengganti septic tank itu, lele koya berfungsi untuk mendaur-ulang feces manusia. Dengan demikian, empang tidak cepat penuh tinja, mengurangi bau yang menguar, dan lelenya pun bisa dijual. Tentu saja harga jual lele koya tak setinggi lele liar atau yang dibesarkan dengan pakan pelet.
Ikan Lele |
Sejatinya, lele (Clarias batrachus) termasuk pangan hewani yang lezat dan kaya gizi. Setiap 100 gram daging lele (FAO, 1972) mengandung: air (78,5 %), energi, protein, lemak, kalsium, phosphor, zat besi, natrium, thiamin (vit B1), riboflavin (vit B2), niacin, dan asam lemak Omega 3.
Asam lemak Omega 3 adalah asam lemak dengan ikatan rangkap pada posisi karbon nomor 3 dari gugus metil atau disebut karbon posisi omega. Asam lemak ini merupakan precursor dari thrombaxiane A3 dan prostaglandin I3, zat yang sangat efektif untuk mengganti agregasi keping-keping darah. Pencegahan agregasi keping-keping darah dapat memperlancar aliran darah sehingga mengurangi risiko menderita penyakit jantung.
Dari berbagai penelitian ditemukan manfaat lain asam lemak omega 3 mislanya menurunkan tekanan darah, membantu merawat kesehatan kulit terutama dari ekzim dan dermatitis, serta berperan dalam pembentukan cerebral cortese otak.
Al-jallalah
Namun, lele yang tergolong lele koya, tidak bisa langsung disantap. Sebab, ia masih termasuk Al-jallalah (الجلالة).
Secara bahasa, Al-jallalah artinya kelebihan. Makna syar’i nya adalah hewan ternak (sapi, kambing, onta, unggas, ikan) yang makanannya tinja (Kitab Nailul Authar, 8/128).
Menurut sebagian ulama, haram memakan Al-jallalah. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad (Hasyiah Al-Muqni’, 3/529) dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah (Al-Minhaj Syarh Al-Mughni, 4/304). Mereka berdalilkan hadits dari Ibnu Umar ra: Rasulullah SAW melarang memakan jallalah dan meminum susunya’’ (HR Imam Lima kecuali An-Nasa`i dan At-Tirmidzi menghasankannya. Lihat Al-Muntaqa beserta syarahnya dalam Nailul Authar, 8/128).
Namun sebagian ulama lain memakruhkan makan daging Al-jallalah. Pendapat ini berasal dari Mazhab Imam Ahmad, yang paling shahih dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, dan merupakan mazhab Al-Hanafiah (Al-Bada`i’, 5/309).
Dalam pandangan pendapat ini, larangan memakan Al-jallalah tidak berkaitan dengan zat hewan akan tetapi berkaitan dengan sebab lain (pakan yang dikonsumsinya).
Kadar Najis
Para ulama juga berbeda pendapat tentang kadar najis yang menjadi pembatas kriteria al-jallalah.
Pendapat pertama, jika ternak lebih banyak memakan pakan najis daripada pakan lainnya, maka dia baru tergolong al-jallallah. Ini merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah (Al-Muqni’ (3/529), Al-Hanafiah (Al-Bada`i’, 5/39) dan Asy-Syafi’iyah (Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 9/28).
Mereka menyatakan, jika pakan ternak kebanyakan najis maka akan mengubah status dagingnya menjadi haram untuk dimakan sebagaimana makanan busuk (Bada`i’ Ash-Shana`i’).
Pendapat kedua menyatakan, jika ternak banyak (tidak sedikit) memakan najis, maka ia dihukumi sebagai al-jallalah. Ini pendapat lain dalam mazhab Al-Hanabilah (Hasyiah Al-Muqni’, 3/529).
Ulama dalam pendapat ketiga menyatakan, status al-jallalah tidak ditentukan oleh banyak-sedikitnya pakan najis, melainkan dampak atau residu dari pakan najis tersbeut berupa bau. Jika ternak berbau najis (seperti lele berbau tinja) maka dia al-jallalah. Demikian pendapat dari Mazhab Asy-Syafi’iyah (Al-Majmu’, 9/28).
Karantina Halal
Ternak al-jallalah bisa dikonsumsi asalkan sudah melalui karantina pensucian. Selama karantina, mereka diberi pakan dan minuman yang tidak najis. Lele koya misalnya, dimasukkan dalam kolam atau empang air bersih (lebih baik lagi yang mengalir) dan diberi pakan pelet.
Nah, para ulama yang sama-sama mengharamkan jallalah, berselisih menjadi beberapa pendapat mengenai jangka waktu karantina hewan jallalah.
Menurut pendapat dari Mazhab Asy-Syaifi’i, karantina dilakukan sampai jejak najisnya (rasa dan bau) hilang. ‘’Tidak batasan waktu tertentu dalam penentuan kadar lamanya, yang menjadi patokan adalah waktu yang diketahui dengan kebiasaan atau sangkaan besar bahwa bau najisnya sudah hilang’’ (Al-Majmu’, 9/28).
Pendapat kedua menentukan batas waktu karantina adalah tiga hari, baik untuk jenis unggas maupun lainnya. Ini salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan merupakan pendapat Abu Hanifah dalam masalah ayam tapi dia hanya menghukuminya sunnah.
Pendapat ketiga, unggas al-jallalah dikarantina selama tiga hari, kambing tujuh hari, dan selainnya selama 40 hari. Perincian ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Tarjih
Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc, hukum memakan daging jallalah yang rajih (lebih kuat) adalah haram, karena jelasnya pelarangan yang ada serta tidak ada satu pun dalil yang menafikan.
Adapun yang menjadi patokan dalam sifat jallalah, maka yang rajih adalah jika kebanyakan (dominan) makanannya adalah najis. Ini terambil dari lafazh jallalah, yang menunjukkan makna mubalaghah (berlebihan) yang memberikan pemahaman makna ‘yang terbanyak’.
Adapun lama waktu kurungannya, maka yang rajih adalah tidak ditentukan, tapi kapan menurut sangkaan besar bahwa bekas najis itu sudah hilang darinya. Karena pembatasan waktu tidak ada dalilnya, sementara tujuannya adalah menghilangkan jejak najisnya. (nurbowo)