Friday, March 21, 2014

Membaca Yaasiin untuk Orang yang Mau Meninggal, Bolehkah?

Wihartoyo     Friday, March 21, 2014    
(Ilustrasu, courtesy Republika Penerbit)
REPUBLIKAPENERBIT, -- Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai seseorang berada dalam keadaan sakaratul maut. Tidak sedikit dalam keadaan seperti itu, sanak keluarga akan men-talqin dengan kalimat syahadat. Harapannya, jika Allah SWT berkehendak mengambil nyawa orang tersebut, kalimat tauhid menjadi ucapan terakhir. Namun, tak jarang anggota keluarga berinisiatif membacakan surah Yaasiin. Benarkah dengan dibacakan surah Yasiin akan meringankan proses sakaratul maut?

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini. Titik perbedaan pendapat ada pada tingkatan hadis yang digunakan sebagai hujah amalan tersebut. Hadis yang dimaksud adalah dari Ma'qil bin Yasar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Yaasiin adalah jantungnya Alquran. Tidak dibaca oleh seseorang yang menghendaki Allah dan negeri akhirat, melainkan diberikan ampunan baginya. Untuk itu, bacalah ia atas orang-orang yang hendak meninggal di antara kalian." (HR Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, al-Hakim, dan Ibnu Hibban)

Ibnu Hibban menegaskan, surah Yaasiin dibacakan kepada yang yang hendak wafat. Dan, bukan bagi orang yang sudah meninggal. Ibnu Hibban menegaskan hal tersebut adalah makna dari kata mautakum. Mautakum adalah siapa yang sedang menghadapi kematian. Sebab, kata Ibnu Hibban dalam shahihnya, mayit tidaklah dibacakan Alquran. Kata mautakum juga dijumpai dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Said al Khudri. "Tuntunlah orang yang akan meninggal dunia dengan ucapan Laa ilaaha illallah."

Al Hafidz Ibu Jahar al-Asqalani juga memasukkan hadis ini dalam Bulughul Maram bab Jenazah. Imam Nawawi dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab juga menjadikan hadis ini sebagai dalil membaca Yaasiin di hadapan orang yang sedang menghadapi kematian. Meski Imam Nawawi mengatakan hadis ini dhaif, Abu Daud tidak mendhaifkannya.

Imam as-Suyuthi juga memasukkan hadis itu berderajat hasan. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, "Dan seakan membacanya di sisi mayit akan memudahkan keluarnya ruh."

Hadis di atas diperkuat oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari Shafwan di mana ia menceritakan, para syekh terdahulu pernah mengatakan, "Apabila surah Yaasiin dibacakan di sisi orang yang akan meninggal, maka akan diringankan proses kematian tersebut." Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam kitabnya, Al-Musnad Al-Firdaus. Para syekh terdahulu dalam hadis ini ditafsirkan adalah kelompok tabiin, sebagain ada yang menafsirkan kelompok sahabat.

Namun, beberapa ulama mencatat ada kelemahan dalam hadis pertama. Ibnu Qaththan mencatat, ada perawi yang tidak dikenal sehingga termasuk idl-thirab (guncang) dan mauquf (hanya sampai sahabat nabi), dan terdapat rawi (periwayat) yang majhul (tidak dikenal), yakni Abu Utsman dan ayahnya.

Menurut ad-Daraquthny, hadis tersebut rancu matan dan tidak shahih. Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga mendhaifkan hadis tersebut. Dalam Dhaif Al Jami’ush Shaghir, Syekh al-Albani menyebut membacakan Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan sakaratul maut tidak ada dasarnya.

Fatwa Lajnah Kerajaan Arab Saudi saat ditanya soal ini menjawab tidak mengingkari keshahihannya dan tidak memberikan penilaian atas keshahihannya. Namun, dalam fatwa yang ditandatangani Syekh Abdul Azis bin Abdulllah bin Baz ini menegaskan hadis tersebut dibaca menjelang wafat untuk memberi peringatan. Serta, menjadikan akhir hidup seseorang dengan mendengarkan Alquran.

Fatwa Lajnah ad-Daimah juga menyebut ada sebagian yang menyunahkan membaca Alquran untuk mayit. Namun, Lembaga Fatwa Lajnah mengomentari hal tersebut bukan bermakna untuk mayit, melainkan menjelang kematian. Itu pun seandainya hadis dari Ma'qil bin Yasar itu shahih.

Fatwa Lajnah ad-Daimah juga menyarankan talqin dilakukan dengan menuntun membaca kalimat syahadat. Hal ini sesuai hadis shahih yang disebutkan di atas.
(sumber: http://www.republikapenerbit.com/artikel/detail_info/599)

Wednesday, March 5, 2014

Jokowi-Dahlan, Dua Putra Terbaik Kaki Gunung Lawu

Wihartoyo     Wednesday, March 05, 2014    
[courtesy:viva.co.id]
INILAHCOM, Jakarta - Dahlan Iskan dan Joko Widodo alias Jokowi punya sejumlah kesamaan, selain perbedaan-perbedaan yang sangat tajam. Paling tidak, dua tokoh ini sama-sama lahir dan dibesarkan dikaki Gunung Lawu.

Dahlan, Meneg BUMN, lahir dan dibesarkan di Desa Takeran, Magetan atau sebelah timur Gunung Lawu. Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, lahir dan dibesarkan di Kampung Sumber, Kota Solo, sebelah barat Gunung Lawu. Dahlan lahir dari lingkungan santri. Jokowi lahir dari lingkungan abangan. Menurut mitos, sampai kurun waktu tertentu, negeri ini masih akan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang dilahirkan dan dibesarkan dikaki GunungLawu.

Boleh percaya boleh tidak. Begitulah ceritanya. Tapi bagi mereka yang tidak dilahirkan dan dibesarkan dikaki Gunung Lawu, bukan berarti tak berpeluang untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Sebab, mitos dan klenik itu bukan kebenaran imani yang wajib dipercaya. Jadi, boleh ditolak boleh diterima.

Kesamaan lain Jokowi dan Dahlan adalah keduanya menolak menggunakan fasilitas negara. Selama jadi Walikota Solo, Jokowi tak mengambil gajinya. Ia juga menolak Toyota Camry baru sebagai mobil dinas. Jokowi memilih mobil lama warisan dari pendahulunya. Dia baru mengganti mobil dinasnya dengan Esemka, mobil coba-coba anak Solo. Begitu juga Dahlan, mulai menjabat Dirut PLN hingga menjadi Meneg BUMN tak menggunakan fasilitas negara. Dahlan menolak rumah dinas menteri dan menolak menggunakan mobil menteri.

Hal positif lain dari Dahlan-Jokowi ini adalah kasalihan sosialnya. Jokowi memberikan gajinya sebagai walikota kepada pegawai rendahan di Pemkot Solo mulai dari petugas kebersihan hingga pesuruh. Hal serupa juga dilakukan Dahlan yang selalu menyumbangkan gajinya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Di luar itu, Jokowi rajin membagi-bagi beras di kantung 5 kg kepada rakyat miskin yang dijumpainya saat blusukan kampung. Kegiatan ini sudah lama dilakukan Jokowi. Konon, masih terus dilakukan hingga kini di DKI Jakarta. Dahlan juga melakukan hal yang mirip. Beda obyek saja. Dahlan selalu membantu pesantren-pesantren, masjid-masjid, dan lembaga pendidikan. Tak sedikit orang perorang juga yang dibantu Dahlan, termasuk sejumlah mantan karyawannya yang sering menyerang Dahlan di media sosial.

Persamaan lainnya adalah: Jokowi dan Dahlan sama-sama memiliki pendapatan pribadi yang sangat besar diluar pekerjaannya sebagai aparatur negara. Jokowi memiliki pendapatan pribadi yang rutin Rp 500 juta perbulan dari ekspor meubel ke Timur Tengah dan Eropa. Sebelum jadi Walikota Solo, Jokowi adalah eksportir meubel. Sejak dia jadi walikota, kuota ekspor yang dimilikinya dikelola oleh pengusaha meubel terkemuka di Solo. Diluar itu, Jokowi memiliki pendapatan dari usaha keluarga yang dikelola Gibran, anaknya.

Pendapatan pribadi Dahlan jauh lebih besar. Sebagai pemegang saham mayoritas di PT Jawa Pos, pendapatan pribadi Dahlan ditaksir lebih dari Rp 4 miliar perbulan. Belum dividen sebagai pemegang saham. Belum lagi gaji dan dividen yang dia dapat sebagai komisaris dari 250 perusahaan koran harian lokal dilingkungan Grup Jawa Pos yang menyebar dari Sabang sampai Merauke.

Jadi, orang-orang yang memiliki pendapatan pribadi seperti Dahlan dan Jokowi ini memang tak pantas lagi tertarik dengan gaji menteri atau gaji kepala daerah yang jumlahnya puluhan juta. Kecuali mereka masuk dalam golongan manusia rakus, berapapun pendapatannya pasti takkan pernah merasa cukup.

Lalu, apa bedanya Dahlan dan Jokowi? Bedanya cara mereka mengekspresikan nilai-nilai positif yang mereka punya. Dahlan mengekspresikannya dengan gaya jawa timuran, khususnya suroboyoan yang lebih blak-blakan. Sementara Jokowi menampilkannya dengan gaya Solo yang tak gampang dibaca.

Salah satu contohnya dalam soal penggunaan fasilitas mobil negara. Dahlan dalam acara Kick Andy mengemukakan salah satu alasannya tak menggunakan mobil dinas menteri karena mobil pribadi dia jauh lebih bagus. Mobil dinas menteri adalah Toyota Crown Royal Saloon. Sedangkan mobil pribadi Dahlan adalah Mercedes Benz S-500. Niatnya mulia, Dahlan ingin menunjukkan dedikasi dan pengabdiannya yang tinggi terhadap negeri tercinta ini, tanpa pamrih apapun termasuk urusan gaji dan mobil dinas. Tapi aura bahasa Dahlan memancarkan sinar kesombongan yang mungkin tak dia sengaja.

Sementara Jokowi ketika ditanya siapapun(mulai dari wartawan, anggota dewan hingga istrinya) mengapa dia tak mau menerima Toyota Camry baru sebagai mobil dinas walikota, selalu bilang begini: ‘’Mobil dinas walikota yang lama masih bisa dipakai. Kenapa saya harus memakai mobil baru yang mahal?’’

Mungkin apa yang dikorbankan Dahlan untuk negeri ini jauh lebih besar dari apa yang dipersembahkan Jokowi. Tetapi citra politik yang diraihnya sangat berbeda.

Jokowi selalu dielu-elukan responden survei politik yang dilakukan banyak lembaga survei atas elektabilitas para bakal calon presiden negeri ini. Jokowi selalu disambut gegap gempita rakyat kecil, dinanti pelaku pasar modal. Dengan respon begitu rupa dan cenderung stabil berada di puncak popularitas, hampir bisa dipastikan gaya politik Jokowi ada yang mengelola dengan baik.

Dahlan seharusnya dengan apa yang dia lakukan, memiliki tingkat elektabilitas yang jauh lebih tinggi lagi. Sayangnya, Dahlan bukan tipikal orang yang suka mendengarkan bisikan-bisikan. Dahlan juga tak percaya dengan pengarah gaya politik untuk sampai pada tingkat pecitraan tertentu. Dahlan adalah spontanitas yang sangat merisaukan banyak orang di negeri ini.

Tapi, dimana pun posisi mereka saat ini, Dahlan dan Jokowi adalah dua putra terbaik dari kaki Gunung Lawu. [dsy][sumber:http[:][slash-slash]nasional.inilah.com[slash]read[slash]detail[slash]2079352[slash]jokowi-dahlan-dua-putra-terbaik-kaki-gunung-lawu#.UxZrnHkW0T0]

Sunday, March 2, 2014

Mengapa Bukan Label Haram Saja?

Wihartoyo     Sunday, March 02, 2014    
Oleh: Nurbowo, Pembina LSM Halal Watch

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetik (LPPOM) MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang berdiri sejak 6 Januari 1989, mulai menerbitkan sertifikat halal pada 7 April 1994. Dan, sampai tahun 2014 ini LPPOM MUI telah menerbitkan lebih dari 13.000 sertifikat halal.
Sistem sertifikasi LPPOM MUI, diakui sebagai yang terbaik di antara lembaga-lembaga sertifikasi di dunia. Para auditor lembaga ini sudah berkeliling ke banyak negara untuk melakukan pemeriksaaan dalam rangka sertifikasi halal. Auditor halal dari negara-negara jiran seperti Malaysia, banyak berguru pada LPPOM MUI.
Puncak pengakuan itu adalah terpilihnya Direktur LPPOM MUI, Prof Hj Aisjah Girindra, sebagai presiden pertama World Halal Council (WHC). WHC didirikan di Jakarta pada 1999 bersamaan dengan berlangsungnya The Jakarta International Halal Seminar 1999. Sampai tahun 2014, dewan halal dunia ini beranggotakan puluhan lembaga sertifikasi halal terkemuka dari berbagai negara di lima benua.
Pada pertemuan di Jakarta, Pebruari 2004, WHC menyepakati sejumlah agreement strategis, yaitu standarisasi: Persyaratan dan Prosedur Sertifikasi Halal (General Standarization for Halal Certification), Prosedur Standar untuk Audit Penyembelihan dan Produk Hewan (Standard Audit Procedure for Slaughtered Animal and Its Products), Prosedur Standar untuk Audit Flavor (Standard Audit Procedure for Flavor/Seasoning), Prosedur Standar untuk Produk Mikrobial (Standard Audit Procedure for Microbial Products).
Satu lagi kesepakatan monumental adalah dijadikannya Fatwa MUI sebagai Panduan dalam Menentukan Status Bahan (Fatwa MUI on Foods as Standard Audit Reference).
Namun, sampai saat ini masih ada pihak yang mempertanyakan, kenapa yang dilakukan adalah sertifikasi halal dan bukan sertifikasi haram. Hal ini dikemukakan misalnya oleh Imam Nakha’i (ahli fikih dari Situbondo) dan Abd. Moqsith Ghazali (intelektual muda NU) yang dimuat di situs Jaringan Islam Liberal (14/3/05).
Keduanya beranggapan, lantaran pada dasarnya segala sesuatu itu boleh (al-ashl fil asyâ’ al-ibahah) kecuali kalau ada dalil agama yang mengharamkan (hattâ yadullad dalîl ‘alâ tahrîmih), maka tidak perlu ada labelisasi halal segala. Yang perlu justru labelisasi haram, karena jumlahnya jauh lebih sedikit.
Menurut Bambang Irawan, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Muslim, yang paling gampang memang pencantuman sertifikat haram. "Sebab, agama Islam mengajarkan  semua  di alam  semesta  ini  halal, tetapi ada  kekecualian.  Jadi,  kalau diibaratkan  matematika, himpunan halalnya lebih  besar  daripada himpunan haramnya," ujar Bambang (wartaekonomi.com, 12/1/04).
Menurut calon presiden Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, seharusnya labelisasi di Indonesia bukanlah produk yang halal, melainkan produk haram.
"Untuk Indonesia yang diperlukan bukan label halal, tapi label haram. Karena mayoritas penduduk Indonesia Islam," kata Yusril sebagaimana dikutip kompas.com Kamis (27/2/2014).
Yusril menjelaskan, di negara Islam, pemberian label haram terhadap produk yang tidak boleh dikonsumsi umat Islam, akan menjadi lebih simpel dan mudah. Pasalnya, jumlah produk yang haram tentunya jauh lebih sedikit dibanding produk yang halal.
"Kalau saya kemarin pergi ke Filipina misalnya, yang ditandai memang produk halal, karena mayoritas penduduk adalah Katolik. Kalau mayoritas Muslim kok dikasih halal juga. Kan aneh," ujarnya.
Menentukan halal atau haram produk, menurut Imam Nakha’i tadi, juga perkara gampang saja. Mengutip Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid, “al-thayyibât mâ ihtasanathu al-thabâ`ius salîmah." Artinya, makanan yang baik atau halal adalah makanan yang dianggap baik oleh naluri, atau karakter yang normal dari setiap orang. Sesuatu yang berguna bagi badan, itu halal; sesuatu yang tidak berguna bagi badan dan berdampak buruk baik secara fisik atau pun psikis, maka ia haram.
Jadi, kata Imam Nakha’i, kalau membeli suatu produk yang sudah disepakati masyarakat atau komunitas tertentu sebagai barang yang halal, maka sudah tidak jadi soal.
Dengan argumentasi berbeda, Zaim Saidi dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) menyatakan, labelisasi halal adalah hal yang salah kaprah. Menurutnya, yang bermasalah adalah produk haram dan bukan produk halal, sehingga seharusnya kalau ada kewajiban mencantumkan label ya dikenakan pada produk yang haram ini.
Zaim menjelaskan, produk haram termasuk dalam golongan yang disebut post experience goods, yaitu mengandung risiko yang baru akan ketahuan kemudian. Produk bermasalah ini hendaknya dihitung kira-kira berapa dampak ongkos sosialnya. Itulah yang lantas dibebankan menjadi cukai yang ditarik untuk membiayai ongkos sosial dan bukan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Secara matematis, pelabelan haram kelihatannya memang logis. Dalihnya, mayoritas besar penduduk negeri ini adalah muslim.
Tapi dalam praktiknya, jenis benda haram yang sangat sedikit jumlahnya itu ternyata dimanfaatkan secara luas.
Babi misalnya, jenisnya sangat sedikit dibanding jenis fauna yang halal dikonsumsi. Tapi dalam kalkulasi bisnis kapitalisme yang menganut azas zero waste, nyaris semua bagian dari tubuh babi merupakan bahan produksi yang lebih efisien dan komersial. Misalnya sampah berupa kulit atau tulang babi, yang ternyata unggul digunakan dalam produksi gelatin.
Di dunia industri, gelatin merupakan sebuah ‘’miracle food’’ karena multifungsinya luar biasa dan tak tertandingi. Gelatin digunakan sebagai bahan pengisi, pengemulsi (emulsifier), pengikat, pengendap, dan pemerkaya gizi. Karakteristiknya yang lentur dapat membentuk lapisan tipis elastis, film transparan yang kuat, dan daya cernanya tinggi.
Bahan pangan yang mengandung gelatin memiliki sensasi istimewa ketika menyentuh lidah. Sifat melting in the mouth ini sampai sekarang tak tergantikan oleh bahan lain.
Nah, gelatin yang lebih efisien dan ekonomis adalah yang terbuat dari tulang atau kulit babi (Encyclopedia of Chemical Technology, 2nd ed, 1996).
Masalahnya, dari sebuah produk, secara kasat mata seorang profesor biokimia sekalipun tidak dapat langsung menentukan keberadaan unsur babi dalam gelatin yang digunakannya. Misalnya, meskipun tekstur sebuah merk permen jelly itu lembut dan kenyal, tidak bisa langsung disimpulkan bahwa gelatinnya mengandung unsur babi.
Bahkan juga penelitian laboratorium pun tidak selalu bisa mendeteksi keberadaan unsur haram pada produk akhir. Misalnya, tidak akan lagi ditemukan kandungan alkohol pada sebuah merk minuman yang mengklaim ‘’zero alcohol’’, meskipun ia dibuat dari bahan baku minuman keras.
MUI memilih menempuh sertifikasi halal dan bukan sertifikat haram, dengan alasan lembaga ulama ini  ingin melakukan pendekatan dakwah yang menentramkan umat. Dan di era industrialisasi modern ini, pilihan jalan MUI itu justru yang tepat. Sebab, sekarang ini jenis-jenis barang yang haram justru meruyak penggunaannya dalam berbagai produk akhir. Sehingga, mencari gelatin halal misalnya, jauh lebih sulit ketimbang gelatin berbahan babi.
Sebagai pengecualian adalah labelisasi ‘’100% Haram’’ yang dilakukan Ni Made Andriani. Dengan dukungan permodalan dari Badan Dana Punia Hindu Nasional (BDPHN), warga Bali itu membuka jaringan kuliner berbahan baku daging babi dan celeng. Kedainya memajang kalimat ‘’Bakso Celeng 100% Haram’’.
Tapi, rasanya muskil mengharap keterusterangan semacam itu bisa dilakukan para pengusaha lainnya, baik di Bali maupun luar Bali.
Memang tidak bisa begitu saja ditarik mahfum mukhalafah (konklusi resiprokal) bahwa jutaan produk pangan, obat, dan kosmetik di luar 13.000-an unit yang sudah bersertifikat halal itu, otomatis berstatus ‘’haram’’. Namun menurut Prof Ibrahim Hosen (alm) dan Ketua Majelis Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin, produk pangan olahan industri modern minimal berstatus ‘’syubhat’’ lantaran sangat rawan ternoda unsur-unsur haram seperti dicontohkan di atas.

Recommended