Sunday, March 2, 2014

Mengapa Bukan Label Haram Saja?

Wihartoyo     Sunday, March 02, 2014    

Oleh: Nurbowo, Pembina LSM Halal Watch

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetik (LPPOM) MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang berdiri sejak 6 Januari 1989, mulai menerbitkan sertifikat halal pada 7 April 1994. Dan, sampai tahun 2014 ini LPPOM MUI telah menerbitkan lebih dari 13.000 sertifikat halal.
Sistem sertifikasi LPPOM MUI, diakui sebagai yang terbaik di antara lembaga-lembaga sertifikasi di dunia. Para auditor lembaga ini sudah berkeliling ke banyak negara untuk melakukan pemeriksaaan dalam rangka sertifikasi halal. Auditor halal dari negara-negara jiran seperti Malaysia, banyak berguru pada LPPOM MUI.
Puncak pengakuan itu adalah terpilihnya Direktur LPPOM MUI, Prof Hj Aisjah Girindra, sebagai presiden pertama World Halal Council (WHC). WHC didirikan di Jakarta pada 1999 bersamaan dengan berlangsungnya The Jakarta International Halal Seminar 1999. Sampai tahun 2014, dewan halal dunia ini beranggotakan puluhan lembaga sertifikasi halal terkemuka dari berbagai negara di lima benua.
Pada pertemuan di Jakarta, Pebruari 2004, WHC menyepakati sejumlah agreement strategis, yaitu standarisasi: Persyaratan dan Prosedur Sertifikasi Halal (General Standarization for Halal Certification), Prosedur Standar untuk Audit Penyembelihan dan Produk Hewan (Standard Audit Procedure for Slaughtered Animal and Its Products), Prosedur Standar untuk Audit Flavor (Standard Audit Procedure for Flavor/Seasoning), Prosedur Standar untuk Produk Mikrobial (Standard Audit Procedure for Microbial Products).
Satu lagi kesepakatan monumental adalah dijadikannya Fatwa MUI sebagai Panduan dalam Menentukan Status Bahan (Fatwa MUI on Foods as Standard Audit Reference).
Namun, sampai saat ini masih ada pihak yang mempertanyakan, kenapa yang dilakukan adalah sertifikasi halal dan bukan sertifikasi haram. Hal ini dikemukakan misalnya oleh Imam Nakha’i (ahli fikih dari Situbondo) dan Abd. Moqsith Ghazali (intelektual muda NU) yang dimuat di situs Jaringan Islam Liberal (14/3/05).
Keduanya beranggapan, lantaran pada dasarnya segala sesuatu itu boleh (al-ashl fil asyâ’ al-ibahah) kecuali kalau ada dalil agama yang mengharamkan (hattâ yadullad dalîl ‘alâ tahrîmih), maka tidak perlu ada labelisasi halal segala. Yang perlu justru labelisasi haram, karena jumlahnya jauh lebih sedikit.
Menurut Bambang Irawan, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Muslim, yang paling gampang memang pencantuman sertifikat haram. "Sebab, agama Islam mengajarkan  semua  di alam  semesta  ini  halal, tetapi ada  kekecualian.  Jadi,  kalau diibaratkan  matematika, himpunan halalnya lebih  besar  daripada himpunan haramnya," ujar Bambang (wartaekonomi.com, 12/1/04).
Menurut calon presiden Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, seharusnya labelisasi di Indonesia bukanlah produk yang halal, melainkan produk haram.
"Untuk Indonesia yang diperlukan bukan label halal, tapi label haram. Karena mayoritas penduduk Indonesia Islam," kata Yusril sebagaimana dikutip kompas.com Kamis (27/2/2014).
Yusril menjelaskan, di negara Islam, pemberian label haram terhadap produk yang tidak boleh dikonsumsi umat Islam, akan menjadi lebih simpel dan mudah. Pasalnya, jumlah produk yang haram tentunya jauh lebih sedikit dibanding produk yang halal.
"Kalau saya kemarin pergi ke Filipina misalnya, yang ditandai memang produk halal, karena mayoritas penduduk adalah Katolik. Kalau mayoritas Muslim kok dikasih halal juga. Kan aneh," ujarnya.
Menentukan halal atau haram produk, menurut Imam Nakha’i tadi, juga perkara gampang saja. Mengutip Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid, “al-thayyibât mâ ihtasanathu al-thabâ`ius salîmah." Artinya, makanan yang baik atau halal adalah makanan yang dianggap baik oleh naluri, atau karakter yang normal dari setiap orang. Sesuatu yang berguna bagi badan, itu halal; sesuatu yang tidak berguna bagi badan dan berdampak buruk baik secara fisik atau pun psikis, maka ia haram.
Jadi, kata Imam Nakha’i, kalau membeli suatu produk yang sudah disepakati masyarakat atau komunitas tertentu sebagai barang yang halal, maka sudah tidak jadi soal.
Dengan argumentasi berbeda, Zaim Saidi dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) menyatakan, labelisasi halal adalah hal yang salah kaprah. Menurutnya, yang bermasalah adalah produk haram dan bukan produk halal, sehingga seharusnya kalau ada kewajiban mencantumkan label ya dikenakan pada produk yang haram ini.
Zaim menjelaskan, produk haram termasuk dalam golongan yang disebut post experience goods, yaitu mengandung risiko yang baru akan ketahuan kemudian. Produk bermasalah ini hendaknya dihitung kira-kira berapa dampak ongkos sosialnya. Itulah yang lantas dibebankan menjadi cukai yang ditarik untuk membiayai ongkos sosial dan bukan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Secara matematis, pelabelan haram kelihatannya memang logis. Dalihnya, mayoritas besar penduduk negeri ini adalah muslim.
Tapi dalam praktiknya, jenis benda haram yang sangat sedikit jumlahnya itu ternyata dimanfaatkan secara luas.
Babi misalnya, jenisnya sangat sedikit dibanding jenis fauna yang halal dikonsumsi. Tapi dalam kalkulasi bisnis kapitalisme yang menganut azas zero waste, nyaris semua bagian dari tubuh babi merupakan bahan produksi yang lebih efisien dan komersial. Misalnya sampah berupa kulit atau tulang babi, yang ternyata unggul digunakan dalam produksi gelatin.
Di dunia industri, gelatin merupakan sebuah ‘’miracle food’’ karena multifungsinya luar biasa dan tak tertandingi. Gelatin digunakan sebagai bahan pengisi, pengemulsi (emulsifier), pengikat, pengendap, dan pemerkaya gizi. Karakteristiknya yang lentur dapat membentuk lapisan tipis elastis, film transparan yang kuat, dan daya cernanya tinggi.
Bahan pangan yang mengandung gelatin memiliki sensasi istimewa ketika menyentuh lidah. Sifat melting in the mouth ini sampai sekarang tak tergantikan oleh bahan lain.
Nah, gelatin yang lebih efisien dan ekonomis adalah yang terbuat dari tulang atau kulit babi (Encyclopedia of Chemical Technology, 2nd ed, 1996).
Masalahnya, dari sebuah produk, secara kasat mata seorang profesor biokimia sekalipun tidak dapat langsung menentukan keberadaan unsur babi dalam gelatin yang digunakannya. Misalnya, meskipun tekstur sebuah merk permen jelly itu lembut dan kenyal, tidak bisa langsung disimpulkan bahwa gelatinnya mengandung unsur babi.
Bahkan juga penelitian laboratorium pun tidak selalu bisa mendeteksi keberadaan unsur haram pada produk akhir. Misalnya, tidak akan lagi ditemukan kandungan alkohol pada sebuah merk minuman yang mengklaim ‘’zero alcohol’’, meskipun ia dibuat dari bahan baku minuman keras.
MUI memilih menempuh sertifikasi halal dan bukan sertifikat haram, dengan alasan lembaga ulama ini  ingin melakukan pendekatan dakwah yang menentramkan umat. Dan di era industrialisasi modern ini, pilihan jalan MUI itu justru yang tepat. Sebab, sekarang ini jenis-jenis barang yang haram justru meruyak penggunaannya dalam berbagai produk akhir. Sehingga, mencari gelatin halal misalnya, jauh lebih sulit ketimbang gelatin berbahan babi.
Sebagai pengecualian adalah labelisasi ‘’100% Haram’’ yang dilakukan Ni Made Andriani. Dengan dukungan permodalan dari Badan Dana Punia Hindu Nasional (BDPHN), warga Bali itu membuka jaringan kuliner berbahan baku daging babi dan celeng. Kedainya memajang kalimat ‘’Bakso Celeng 100% Haram’’.
Tapi, rasanya muskil mengharap keterusterangan semacam itu bisa dilakukan para pengusaha lainnya, baik di Bali maupun luar Bali.
Memang tidak bisa begitu saja ditarik mahfum mukhalafah (konklusi resiprokal) bahwa jutaan produk pangan, obat, dan kosmetik di luar 13.000-an unit yang sudah bersertifikat halal itu, otomatis berstatus ‘’haram’’. Namun menurut Prof Ibrahim Hosen (alm) dan Ketua Majelis Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin, produk pangan olahan industri modern minimal berstatus ‘’syubhat’’ lantaran sangat rawan ternoda unsur-unsur haram seperti dicontohkan di atas.

Recommended