Friday, November 20, 2015

Walau Hanya Sebutir

Wihartoyo     Friday, November 20, 2015    
Puluhan Redaktur Ekonomi dan Bisnis media massa Grup Jawa Pos tercekat. Bibir mereka terkatup rapat. Wajah pias merona merah. Jurnalis-jurnalis senior itu merasa sungguh malu.
Tak jauh dari mereka ngrumpi usai makan siang, seseorang tengah duduk di lantai sambil makan dengan asyiknya. Tak lama, tandaslah nasi berkuah dalam kotak itu, yang merupakan sisa makan seorang redaktur.
Bukan, yang membuat para redaktur bungkam bukan lantaran ia seorang pengemis atau pemulung, melainkan Dahlan Iskan! Ya, pemakan nasi sisa itu adalah The Big Boss atau CEO Jawa Pos Group.

Peristiwa itu terjadi di sela lokakarya di Pendopo Jawa Pos di Karah Agung Surabaya tahun 1996.Saat itu Dahlan Iskan tak menjelaskan apapun tentang aksinya memakan nasi buangan anak buah. Namun, kita dapat merasa, bahwa Dahlan hendak berpesan agar kita jangan menyia-nyiakan makanan, apalagi makanan pokok seperti nasi.

Lihatlah sekarang. Sejak medio Februari 2015, harga beras melonjak naik sampai 30%. Harga beras kualitas menengah naik dari Rp 9000 per kilogram menjadi Rp 12.000 per kilogram. Sedangkan beras premium naik dari Rp 11.000 menjadi Rp 15.000. Adapun beras paling apes, harganya Rp 10.000/kg.
"Kenaikan 30 persen itu berdampak besar," kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi (Tempo, 25 Februari 2015). Kenaikan harga beras yang cukup signifikan itu betul-betul menjadi pukulan telak bagi kaum dhuafa. Sebab, sekitar 60% anggaran belanja keluarga mereka adalah untuk beras.
Seorang Putri Indonesia mengatakan, tingginya harga beras akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Tapi dalam kenyataannya, tidak demikian. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, tingginya harga beras sudah tidak masuk akal. Sebab, harga gabah di tingkat petani hanya Rp 4.500/kg. Artinya, harga beras harusnya tidak lebih dari Rp 6.500/kg. Dengan demikian jika harga beras Rp 12 ribu, seharusnya harga gabah petani Rp 9 ribu/kg.
‘’Krisis pangan bisa memicu perang,’’ Presiden World Bank, Robert Zoellick, mengingatkan pada 2 April 2008. Menurutnya, akan ada 33 negara di seluruh dunia yang mengalami masalah instabilitas politik dan sosial akibat tingginya harga bahan pangan dan harga bahan bakar minyak.

Seperti dilansir lembaga riset beras dunia (International Rice Research Institute/IRRI), dunia dihadapkan pada krisis pangan akibat tekor suplay pangan khususnya beras terhadap permintaan. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyatakan harga gandum dunia melonjak 181% selama 36 bulan hingga Pebruari 2008, sedang harga pangan keseluruhan naik 83 persen. Harga beras dunia pun mengamuk menjadi US$700 per ton. Melonjak 50% dibanding harga akhir Januari 2008.
Ditengarai, ketekoran pangan akibat dua eksportir besar beras dunia yakni Thailand dan Vietnam, dihajar hama dan banjir. Padahal, selama ini Thailand mampu memproduksi 22 juta ton/per tahun dan mengekspor 7,5 juta ton diantaranya. Sedangkan Vietnam memproduksi 18 juta ton/tahun dan mengekspor 5 juta ton diantaranya.
Tak lama setelah peringatan Zoellick mendunia, kerusuhan-kerusuhan akibat kelangkaan bahan pangan terjadi di Mesir, Pantai Gading, Madagaskar, Kamerun, Filipina, Papua Nugini, Mauritania, Mexico, Maroko, Senegal, Uzbekistan, dan Yemen. Di Pakistan, batalyon pasukan diturunkan untuk mengamankan truk-truk pengangkut tepung gandum. Perdana Menteri Haiti bahkan dimakjulkan dari jabatannya gara-gara soal perut yang menyebabkan 5 warga mati ditembak dalam kerusuhan massal.
Itu belum seberapa. David Ignatius, pengamat ekonomi dan kolumnis dari Washington Post, menulis, tingginya harga beras hanyalah masalah kecil. Ada masalah yang lebih besar yang segera tiba, yakni ancaman inflasi global terutama akibat kenaikan harga bahan pangan.

Berdasarkan data IRRI, saat ini 2,4 miliar penduduk dunia sangat bergantung pada beras. Dengan kontribusi belanja rumah tangga sebesar 20%, kenaikan harga akan memicu inflasi besar-besaran. Tentu saja yang paling terpukul adalah rumah tangga miskin, yang 70% anggaran pendapatannya dialokasikan untuk beras seperti di Indonesia.

Menurut prediksi FAO, 36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengalami krisis pangan, termasuk Indonesia. Global Information and Early Warning System dari FAO menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis itu, selain Irak, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste.
Untuk mencegah krisis pangan dan efek dominonya, Indonesia mau tak mau harus mampu berswasembada pangan. Untuk itu, pemerintah bersama segenap rakyat harus mengatasi politik beras nasional.

Politik beras menyangkut beberapa aspek. Pertama, memastikan produksi beras memenuhi kebutuhan nasional; kedua, memastikan kesejahteraan produsen beras, yakni kaum tani; dan ketiga, memastikan harga beras bisa dijangkau oleh seluruh rakyat Indonesia.
Masalahnya, sejak beberapa tahun terakhir, produksi beras nasional tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan nasional. Akibatnya, Indonesia makin bergantung pada beras impor. Pada 2014 lalu, produksi beras nasional hanya 44,29 juta ton atau turun 0,94 persen. Karenanya, sepanjang tahun 2014, Bulog mengimpor beras dari luar negeri sebesar 500 ribu ton.
Penurunan produksi beras ini tidak melulu karena faktor cuaca. Tetapi karena beberapa faktor yang lebih mendasar. Pertama, penyusutan lahan pertanian karena alih-fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Setiap tahunnya lebih dari 100 ribu hektar lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi lahan non-pertanian. Penyusutan lahan ini juga dipicu oleh maraknya investasi asing.
Kedua, ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia makin mengerikan. Indeks Gini kepemilikan tanah juga meningkat tajam: dari 0,50 (1983) menjadi 0,72 (2003). Akibatnya, seperti pernah diakui Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto, aset berupa tanah makin terkonsentrasi di tangan segelintir orang.

Ketiga, infrastruktur pendukung pertanian di Indonesia, seperti irigasi, bendungan, dan jalan, juga tidak memadai. Pengakuan Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebutkan, sekitar 52 persen sarana irigasi di seluruh Indonesia dalam kondisi rusak. Sudah begitu, kaum tani Indonesia kurang didukung dengan modal dan teknologi modern.

Keempat, pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian semakin mengecil. Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian tahun 2013 (SPP 2013) BPS menyebutkan, rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian hanya berkisar Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan. Sementara Survei Panel Tani Nasional (Patanas) mengungkapkan, sekitar 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar sektor pertanian, seperti ngojek, dagang dan pekerja kasar. Kehancuran pendapatan pekerja di sektor pertanian banyak disumbang oleh kebijakan pemerintah, terutama liberalisasi impor pangan. Kebijakan tersebut membuat produksi pertanian lokal tergilas oleh pangan impor.

Kombinasi dari berbagai persoalan di atas berdampak pada menyusutnya jumlah rumah tangga petani di Indonesia dan membengkaknya jumlah petani gurem dan tak bertanah. Menurut BPS, dalam kurun waktu sepuluh tahun (2003-2013), ada 5 juta petani di Indonesia yang beralih profesi. Sementara 85% dari petani di Indonesia adalah petani gurem (lahan kurang dari 0,3 hektar) dan buruh tani (tanpa lahan) belaka.
Jadi, mari, jangan sia-siakan nasi kita. Walaupun hanya sebutir!
(Nurbowo)

Recommended