Indonesia mencatat sejumlah kemajuan dan mendarat di posisi 35 dari 129 negara dalam Indeks Transformasi yang dipublikasikan Yayasan Bertelsmann. Namun saat yang bersamaan, sejumlah peristiwa pelik menandai kemunduran
Indonesia mencatat sejumlah perbaikan dalam indeks transformasi 2014 yang dipublikasikan oleh Yayasan Bertelsman, Rabu (22/1). Antara lain keberhasilan menjaga stabilitas politik dan penyelenggaraan pemilu yang relatif bebas, kompetitif dan aman membuat Indonesia mendarat pada posisi 35 dari 129 negara.
Bertelsmann mencatat, penyelenggaraan pemilu di tingkat daerah antara 2011 dan 2013 berlangsung nyaris tanpa insiden berarti, terutama jika dibandingkan dengan situasi di negara tetangga Thailand, atau kerusuhan beraroma etnis dan agama yang merebak antara 1998 dan 2003 dan menelan lebih dari 10.000 korban jiwa.
Selain itu pemerintah di Jakarta juga dinilai sukses memperkuat struktur pemerintahan demokratis di kawasan-kawasan terpencil. Maraknya pemilihan umum dibarengi dengan dukungan luas masyarakat terhadap demokrasi sebagai sistem pemerintah. Selain itu kendati masih banyak, pelanggaran HAM setidaknya tidak lagi dilatarbelakangi kepentingan politik, melainkan berasal dari konflik horizontal.
Transformasi Politik Alami Stagnasi
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia sejak lama berjibaku menjaga keseimbangan antara mempromosikan nilai-nilai keislaman dan hak-hak kelompok minoritas. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang dianggap menghambat transformasi politik di Indonesia.
Kegagalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melindungi kebebasan beribadah buat kaum minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah atau kelompok Kristen dan Katholik, berdampak negatif terhadap peringkat Indonesia. Selain itu yayasan itu juga mencatat kasus-kasus terpisah seperti serangan terhadap Alexander, seorang ateis yang memublikasikan keyakinannya di jejaring sosial, atau penutupan paksa terhadap diskusi bedah buku yang digelar aktivis Islam Liberal asal Kanada, Irshad Manji beberapa waktu lalu.
Ketika Indonesia dinilai sukses memperluas jangkauan birokrasi pasca desentralisasi, kualitas layanan negara saat yang bersamaan memburuk. Sekitar 55% penduduk tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi, sementara 43% belum mendapat air bersih.
Bertelsmann juga mencatat meningkatnya intervensi dunia bisnis terhadap perkembangan politik. Salah satu perkara terbesar adalah absennya sistem pembiayaan partai dan kampanye yang efektif. Kondisi itu membuat sebagian besar politisi rentan terhadap korupsi yang melibatkan pihak luar seperti pengusaha.
Ekonomi di Persimpangan
Kendati menikmati pertumbuhan pesat selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala. Pemerintah misalnya mendapat hujan kritik lantaran dinilai mengambil haluan proteksionis yang cenderung membatasi investasi asing. Saat yang bersamaan perekonomian Indonesia kewalahan mengakomodasi pertumbuhan menyusul lambatnya pembangunan infratruktur.
Masalah terbesar lain adalah penyebaran kemakmuran yang tidak merata. Indonesia saat ini mendarat di peringkat menengah dengan nilai 36,8 dalam indeks koefisien Gini yang mengukur kesenjangan kekayaan. Angka tersebut bertolak belakang dengan Indeks Konsentrasi Kekayaan. 40 orang terkaya di Indonesia jauh lebih makmur ketimbang di Thailand, Malaysia atau Singapura dengan total kekayaan sebesar 71,3 miliar US Dollar.
Kemiskinan adalah perkara lain. Jika menurut data resmi yang dikeluarkan pemerintah, 2012 tingkat kemiskinan di Indonesai cuma berkisar 12%. Namun data tersebut bersumber dari asumsi pendapatan maksimal 1,13 US Dollar per hari. Jika merujuk pada standar minimal pendapatan sebesar 2 US Dollar seperti yang ditetapkan Bank Pembangunan Asia (ADB), maka sekitar 51 persen populasi Indonesia bisa dikategorikan miskin atau nyaris miskin. (Sumber:dwdw)