Wednesday, August 17, 2016

Cintai Indonesia Tidak Apa Adanya

Wihartoyo     Wednesday, August 17, 2016    

CINTAI INDONESIA TIDAK APA ADANYA
Apa boleh buat, kita telanjur mendapat sejumlah julukan yang memalukan dan memilukan. Misalnya Louis Kraar (1988) yang mengkhawatirkan Indonesia akan menjadi "bangsa terbelakang" dan "halaman belakang" (back yard) di kawasan Pacific Rims; ‘’Soft state’’ alias negara lembek, menurut Gunnar Myrdal. Lalu ‘’cleptocrasi’’ atau ‘’vampire state’’ (negara drakula). Sebuah majalah asing menyebut ‘’envelope culture’’ di Indonesia. Bahkan kita pun menerima ramalan atau predikat sebagai ‘’negara gagal’’ alias failed state (Jared Diamond, 2005; Foreign Policy, 2008).


Namun, sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, kita harus menjadi bangsa yang ‘’ajaib’’. Seperti dikatakan Nabi Muhammad SAW, “SungguhCINTAI INDONESIA TIDAK APA ADANYA
Apa boleh buat, kita telanjur mendapat sejumlah julukan yang memalukan dan memilukan. Misalnya Louis Kraar (1988) yang mengkhawatirkan Indonesia akan menjadi "bangsa terbelakang" dan "halaman belakang" (back yard) di kawasan Pacific Rims; ‘’Soft state’’ alias negara lembek, menurut Gunnar Myrdal. Lalu ‘’cleptocrasi’’ atau ‘’vampire state’’ (negara drakula). Sebuah majalah asing menyebut ‘’envelope culture’’ di Indonesia. Bahkan kita pun menerima ramalan atau predikat sebagai ‘’negara gagal’’ alias failed state (Jared Diamond, 2005; Foreign Policy, 2008).
Namun, sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, kita harus menjadi bangsa yang ‘’ajaib’’. Seperti dikatakan Nabi Muhammad SAW, “Sungguh ajaib kaum muslimin. Jika ia beroleh nikmat, ia bersyukur. Kalaupun mendapat musibah, ia tetap bersyukur dan sabar.’’
Dalam bahasa Prof Hassan Hanafi, guru besar filsafat Universitas Kairo, Mesir: ‘’Indonesia memerlukan revolusi pemikiran. Minal 'aqidah ilal tsaurah’’ (Gatra.com, 05-06-2001). Yakni, bagaimana iman pada Allah, pada penciptaan alam, pada penciptaan manusia, pada kenabian, dan pada alam akhirat, mampu men-drive kekuatan revolusi. Lebih dari sekadar sikap nrimo pada keterbelakangan dan kezaliman.
Sebagai modal awal, bagaimanapun juga kita harus tetap optimis. Optimis bahwa Bangsa Indonesia masih berpeluang untuk menjadi Bangsa modern, beradab, dan penuh curahan berkah dan rahmat Ilahi. ‘’Aku ini sebagaimana sangka hamba-Ku saja,’’ titah Allah dalam hadits qudsi. Kalau kita percaya Allah Maha Baik untuk memperbaiki Indonesia, insya Allah negeri ini akan bisa lebih baik.
Generasi yang sudah ‘’karatan’’ dimabuk dunia, biarlah berlalu. Seperti disebut Al Qur’an, setiap kaum atau bangsa punya umurnya sendiri (QS 7:34). Mereka akan menemui ajalnya secara sunatullah, atau bila kelakuannya sudah kelewatan Allah langsung ‘’turun tangan’’ memusnahkannya, digantikan oleh kaum yang lebih baik (QS 5:54). Seperti dialami kaum Nabi Nuh, Luth, Bangsa ‘Ad, dan Tsamud. ‘’Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sungguh, kebatilan pasti musnah’’ (QS 17: 81).
Quraish Shihab mengemukakan dalam bukunya, kehancuran satu masyarakat tidak secara otomatis mengakibatkan kematian seluruh penduduknya. Bahkan boleh jadi mereka semua secara individual tetap hidup. Namun, kekuasaan, pandangan, dan kebijaksanaan masyarakat berubah total, digantikan oleh kekuasaan, pandangan, dan kebijakan yang berbeda dengan sebelumnya.
Dalam bahasa Fazlur Rahman (Major Themes of Al Quran, 1981), Tuhan lebih suka membersihkan lembaran-lembaran sejarah dan menciptakan suatu permulaan peradaban baru ketimbang menolerir suatu simbiosis antara yang dekaden dan yang progresif (QS 6:6, 33:27, 28:5, 7:128,137, 39:74, dan QS 44:28). ajaib kaum muslimin. Jika ia beroleh nikmat, ia bersyukur. Kalaupun mendapat musibah, ia tetap bersyukur dan sabar.’’
Dalam bahasa Prof Hassan Hanafi, guru besar filsafat Universitas Kairo, Mesir: ‘’Indonesia memerlukan revolusi pemikiran. Minal 'aqidah ilal tsaurah’’ (Gatra.com, 05-06-2001). Yakni, bagaimana iman pada Allah, pada penciptaan alam, pada penciptaan manusia, pada kenabian, dan pada alam akhirat, mampu men-drive kekuatan revolusi. Lebih dari sekadar sikap nrimo pada keterbelakangan dan kezaliman.
Sebagai modal awal, bagaimanapun juga kita harus tetap optimis. Optimis bahwa Bangsa Indonesia masih berpeluang untuk menjadi Bangsa modern, beradab, dan penuh curahan berkah dan rahmat Ilahi. ‘’Aku ini sebagaimana sangka hamba-Ku saja,’’ titah Allah dalam hadits qudsi. Kalau kita percaya Allah Maha Baik untuk memperbaiki Indonesia, insya Allah negeri ini akan bisa lebih baik.
Generasi yang sudah ‘’karatan’’ dimabuk dunia, biarlah berlalu. Seperti disebut Al Qur’an, setiap kaum atau bangsa punya umurnya sendiri (QS 7:34). Mereka akan menemui ajalnya secara sunatullah, atau bila kelakuannya sudah kelewatan Allah langsung ‘’turun tangan’’ memusnahkannya, digantikan oleh kaum yang lebih baik (QS 5:54). Seperti dialami kaum Nabi Nuh, Luth, Bangsa ‘Ad, dan Tsamud. ‘’Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sungguh, kebatilan pasti musnah’’ (QS 17: 81).
Quraish Shihab mengemukakan dalam bukunya, kehancuran satu masyarakat tidak secara otomatis mengakibatkan kematian seluruh penduduknya. Bahkan boleh jadi mereka semua secara individual tetap hidup. Namun, kekuasaan, pandangan, dan kebijaksanaan masyarakat berubah total, digantikan oleh kekuasaan, pandangan, dan kebijakan yang berbeda dengan sebelumnya.
Dalam bahasa Fazlur Rahman (Major Themes of Al Quran, 1981), Tuhan lebih suka membersihkan lembaran-lembaran sejarah dan menciptakan suatu permulaan peradaban baru ketimbang menolerir suatu simbiosis antara yang dekaden dan yang progresif (QS 6:6, 33:27, 28:5, 7:128,137, 39:74, dan QS 44:28).
(Oleh: Nurbowo)

,

Recommended