Friday, October 6, 2023

Awal Perjalanan

Wihartoyo     Friday, October 06, 2023    

Jalan di dusun Pedhudutan pagi ini masih sangat sepi. Meskipun adzan Shubuh telah berkumandang, dan jama’ah Shubuh telah kembali dari langgar, namun aktifitas penduduk masih belum terlihat bergeliat. Hanya beberapa penduduk yang terlihat telah mendahului pergi ke pasar menjemput pagi. Menjemput rezeki pagi ini.

Wadasputih, lintasan pegunungan yang melingkupi dusun Pohkumbang, masih nampak hitam di ujung timur seakan mencanda mentari agar tetap dalam peraduannya meski semburat tangan sinarnya telah menggapai awan yang masih malas-malasan di atas sana.

Padepokan Gagak Wulung, pagi ini, terasa sangat sepi. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada suara cantrik mengalunkan pesan-pesan ilahi, maupun yang gladen, olah kanuragan. Bahkan dapur-dapur padepokan yang biasanya diisi oleh para simbok, istri-istri cantrik senior maupun para cantrik perempuan, pagi ini sepi. Hanya ada sedikit sisa asap pedhangan bekas menanak nasi tadi, sebelum subuhan. Semua cantrik berkumpul di depan pendopo. Semua diam.  Ada kejadian luar biasa pagi ini. Niken Lanjar Sekar Kenongo, anak perempuan, anak semata wayang, dari Ki Ageng Gagak Pergola hari ini akan berangkat ke padepokan Wijaya Kusuma. Padepokan Nyi Ajar Nismara di Brangkulon, 7 hari perjalanan dari padhepokan.

Semua berkumpul di depan pendopo, namun tak satupun di antara Ki Ageng dan Sekar Kenongo yang tahu bahwa semua telah berkumpul di depan pendopo.  Apalagi Ki Ageng yang memang tinggal di salah satu bilik di rumah pribadinya yang merupakan induk dari pendopo, bahkan Sekar Kenongo yang tinggal di asrama pun tidak pernah tahu bahwa seluruh penghuni padepokan akan kompak berkumpul di depan pendopo. Ki Ageng nampak kaget begitu keluar dari pintu memasuki pendopo.  Sekar Kenongo yang melangkah berikutnya pun, nampak menahan langkah percis di pintu sambil menahan daun pintu.  Kaget.
“Ada apa?” tanya  ki Ageng sambll tersenyum, “apakah ini terkait dengan kepergian Sekar?”
“Inggih, leres Ki Ageng!” Kompak semua menjawab.
“Terus, kenapa kalian semua berkumpul di sini?” Ki Ageng Gagak Pergola bertanya lagi.  Namun kali ini semua terdiam. Sepi, “kamu! Kesih, kamu adalah muridku paling berani di sini, kawan satu pondhok malah sak senthong karo Sekar, apa kamu bisa kasih penjelasan?”

Perempuan muda yang dipanggil Kesih adalah kawan akrab Sekar Kenongo.  Nama lengkapnya Endang Sukesih. Nama aselinya Nira Sukesih berasal dari Panjer Kulon, sekitar 7 hari perjalanan dari padepokan.  Semenjak menjadi cantrik, dia menyembunyikan nama Nira dan menggantinya dengan Endang.  Cantrik perempuan.  Secara ilmu kanuragan, Endang Sukesih ini hanya satu tingkat di bawah Sekar Kenongo.  Dia memang nomor 2 terpandai di Padhepokan Gagak Wulung. Ki Ageng tersenyum, “Endang Sukesih….” Ki Ageng memanggil nama perempuan itu. Lengkap.

“Dalem, Ki Ageng….!” sahut Endang Sukesih, “da..dad..ddalem mboten wanton matur… ki Ageng!”
“Lha nangopo, kenapa? Kenapa nggak berani? Apakah dalam pandangan kalian, aku sekarang terlihat seperti macan?” tanya Ki Ageng sambil memelototkan matanya.  Dia tahu benar, para penghuni padhepokan saat ini sedang dilanda galau.  Ki Ageng berusaha untuk bercanda untuk mencairkan suasana yang sudah terlanjur tegang. Namun, lagi-lagi, suasana hening. Masih hening.  Sekar Kenongo menutup mulut sambil menahan tawa.

“Kamu itu lho Kesih…., diajak bercanda sama Bopo, kenapa masih diam saja!” tegur Sekar Kenongo kepada Endang Sukesih.  Dan dengan menunduk Endang Sukesih bertanya, “Yunda Sekar, apakah betul Ki Ageng sedang bercanda?” dan dibalas dengan tertawa oleh baik Ki Ageng maupun Sekar Kenongo.
“Kamu itu ada-ada saja, Kesih…. Masa bercanda saja harus dipastiin dulu!” jawab Ki Ageng sambil tersenyum yang dilanjutkan oleh Sekar kenongo, “iya sih, memang Bopo tidak boleh bercanda?”
“Betul, Yunda, tapi….. apakah rencana kepergian Yunda juga adalah bercanda?” jawab Endang Sukesih dilanjutkan dengan mengajukan sebuah pertanyaan.  Ki Ageng Gagak Pergola terdiam.  Sekar Kenongo juga terdiam. Sambil gendhong tangan, Ki Ageng berjalan mendekati Endang Sukesih dan berucap, “Ndhuk, aku tahu kedekatan kalian.  Pasti kamu sangat sedih bila aku bilang bahwa itu bukan bercanda…”

Endang Sukesih kaget dan mengangkat mukanya menoleh, memandangi mata Ki Ageng yang berdiri di sebelah kiri sambl menepuk pundak Endang Sukesih, “betulkah? Eh…eh.. maaf Ki Ageng!” Endang Sukesih yang merasa bersalah telah menatap langsung mata guru yang sangat dia hormati itu segara memperbaiki posisinya dan kembali menunduk. “Maaf Ki Ageng, sekali lagi nyuwun pangapunten Ki Ageng, bukan maksud saya untuk menantang Ki Ageng!”

Ki Ageng tersenyum sambil menghentikan tepukan ke pundak Endang Sukesih.  Ki Ageng bergeser ke depan Endang Sukesih yang masih menunduk, dan bahkan semakin gemetar. Endang Sukesih tidak berani menduga apa kira-kira yang bakal dilakukan gurunya akibat kelancangannya tadi.
“Tidak apa-apa, Kesih. Tapi maaf, tentang rencana kepergian Sekar itu memang bukan bercanda.  Sudah sejak lama dan berkali-kali sebenarnya dia meminta itu.  Tapi aku masih menahannya mengingat saat itu ilmu kanuragannya belum bisa diandalkan untuk melindungi diri, mengingat perjalanan amatlah jauh.” Ki Ageng menghela nafasnya sebentar, berjalan menjauhi posisi Endang Sukesih dan mengambil posisi percis di depan kerumunan.
“Sedulur, kabeh.  Saya sangat menyadari kerisauan kalian semua. Mungkin hasil pembicaraan kami semalam tentang rencana keberangakatan Sekar kenongo pagi ini menuju Padepokan Wijaya Kusuma sudah menyebar begitu saja di antar kalian.  Aku tidak akan mencari siapa yang menyebarkan…” sampai di sini Sekar Kenongo tersenyum sambil melirik kepada Endang Sukesih yang semakin tegang.  Ki Ageng melanjutkan, “saya tidak akan memberikan hukuman apapun karena ini bukan kesalahan, bahkan saya mengucapkan terimakasih.  Kehadiran kalian di sini telah menunjukkan betapa sayangnya kalian kepada Sekar Kenongo.  Anakku satu-satunya yang di luar kesibukanku di Padepokan ini, kalian semua telah membersamainya sehingga kini telah tumbuh menjadi perempuan cantik sekaligus pendekar perempuan pilih tanding.  Terutama kami Kesih,  terima kasih telah menjadi teman karibnya.”

Plong, Endang Sukesih merasa lega, ternyata Ki Ageng Tidak marah.

“Sedulur kabeh, aku tahu kalian pasti keberatan untuk melepas Sekar Kenongo, terutama kalian yang telah mengenal Sekar Kenongo sedari kecil.  Tetapi, bila kalian merasa berat melepas anak kesayanganku ini, ketahuilah bahwa aku lebih merasa berat dibanding kalian.  Dan kalian tahu sendiri.  Kalian telah mengenal anakku yang pantang menyerah ini.  Dan akhirnya pun, aku yang harus menyerah. Aku harus merelakan kepergian anakku ke Brangkulon.  Tidak ada satu cantrik pun yang dia terima ketika aku tawarkan untuk menemaninya, kecuali kamu…” Ki Ageng memandang ke arah Endang Sukesih yang masih menunduk dan tidak tahu kalau ‘kamu’ yang dimaksud itu adalah dia sendiri, “kamu… Endang Nira Sukesih, aku meminta kesediaanmu menemani anakku!?”

Endang Sukesih mengangkat kepalanya dan memandang ke arah Sekar Kenongo.  Sekar Kenongo menganggukkan kepalanya. Sontak mata Endang Sukesih yang sempat kaget itu menjadi berbinar. Dia sangat senang bila harus menemani Sekar Kenongo.  Bukan sekedar karena kawan akrab, tapi Brangkulon adalah kampungnya.  Anak yatim yang diselamatkan oleh Ki Ageng Gagak Pergola saat terjadi huru-hara di Brangkulon 13 tahun lalu ini sangat senang karena tanpa harus meminta ijin pulang kampong, dia malah mendapatkan kesempatan itu. Dan sambil tertawa kecil dengan kedua tangan menggenggam di depa perut dia berbisik, “yuppp… akhirnya…!”
“Maaf aku tidak memberitahumu terlebih dahulu!” lanjut Ki Ageng kepada Endang Sukesih.
“Mboten nopo-nopo kok Ki Ageng, matur sembah nuwun….!” Endang Sukesih menangkupkan kedua tangannya, mundur, balik badan, dan lari.
“Kamu….! Kamu mau kemana?” sambil bertanya, tangan kanan Ki Ageng terangkat ke arah Endang Sukesih seakan mau menahan tapi gagal.
“Siap-siap Ki Ageng!” jawab Endang Sukesih sambil berteriak.

Ki Ageng Gagak Pergola tersenyum. Pun Niken Lanjar Sekar Kenongo. Tersenyum melihat kelakuan sahabatnya.

Ki Ageng kembali menghadap kepada kerumunan, “sedulur kabeh… begitulah, hari ini ketika matahari mencapai sepenggalah, anakku ditemani oleh Endang Sukesih, akan memulai perjalanan yang cukup jauh.  Ke Brangkulon, Padepokan Ni Ajar Nismara, sekira 7 hari perjalanan dari sini ke arah matahari tenggelam.  Maafkan bila ada kesalahan, dan do’akan keselamatan untuk anakku. Meskipun ilmu kanuragan anakku telah melewati kemampuanku, namun aku percaya do’a kalian, do’a kita lah yang akan memberikan kekuatan tambahan. Sekarang bubar.”  Seluruh penghuni padepokan bubar. “Inggih Ki Ageng!”

“Hari ini tidak ada gladen!” sambung ki Ageng yang dijawab oleh kerumunan,”Inggih Ki Ageng!”
Sekar Kenongo bengong. Tumben ayahnya memberikan libur kepda seluruh cantrik. Dan tanyanya, “wonten penggalih punopo Bopo, kok kadingaren mboten wonten gladen?”
“Ora, ndhuk! Aku mung arep ngaso sik.  Ndedonga kanggo awakmu. Kangmasmu Agung Pramudyo belum pulang dari Glagaharum.  Kangmasmu Tejo belum pulang dari Alaspati.  Kamu dan Endang harus berangkat siang ini.  Tidak ada yang melatih.  Tapi biarlah, berilah kesempatan mereka berdo’a untukmu hari ini.”  Jawab Ki Ageng menjelaskan.  Memang tidak mengada-ada penjelasan Ki Ageng,  Semua orang di padepokan Gagak Wulung sangat sayang kepada Sekar Kenongo, dan pasti mereka ingin mendo’akan yang terbaik untuk Sekar.  Begitu juga Ki Ageng, ayah Sekar Kenongo sendiri.   Sementara itu 2 murid tertua Gagak Wulung sedang tidak berada di padepokan.
“Menawi mekaten monggo Romo, dalem bade ngrencangi Endang Sukesih siap-siap!” karena telah selesai semuanya, Sekar kenongo undur diri mau menemani sahabatnya mempersiapkan.
“Yo wis kono. Bapak nang senthong mburi dekat lemari tempat penyimpanan pusaka!” sahut bapaknya sambil memberi tahu posisi yang akan dituju, “golekono nang kono nek wis siap!”
“Inggih Romo!” jawab Sekar Kenongo.

Dan sesuai rencanan, pagi itu ketika matahari mencapai sepenggalah, Sekar Kenongo dan Endang Sukesih memulai perjalanan yang jauh.  Semua penghuni padepokan melepaskan kedua gadis itu di gerbang padepokan. Memandanginya, sampai keduanya menghilang di balik tebing pengkolan jalan tak jauh dari padepokan.


, ,

Recommended