Friday, November 29, 2013

Karena Doi seorang Da'i

Wihartoyo     Friday, November 29, 2013    

‘’Honor saya terakhir Rp 125 ribu perbulan,’’ kata Ustadz Sumitro Mangkusasmito Lc, mengungkapkan gajinya saat menjadi da’i di Dili, Timor Timur, sejak 1981 hingga 1999.
Melalui referendum yang curang dan dibingkai kerusuhan, Provinsi ke-27 NKRI itu akhirnya lepas dan menjadi Republik Timor Leste. 
Situasi yang mencekam mengancam nyawa, membuat Sumitro sekeluarga hengkang ke kampung halaman istrinya di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 1999. ‘’Saya tinggalkan asset saya berupa 13 rumah kontrakan yang pembangunannya dibiayai investor dari Makassar,’’ kenang da’i asal Bojonegoro, Jawa Timur, itu di sela mengisi Daurah Du’at Dewan Dakwah di Jeneponto, Sulsel, 24 November lalu.
Tahun 2006, Sumitro yang seangkatan dengan Ustadz Syuhada Bahri, untuk kali pertama mengunjungi Dili setelah hijrah darinya. Ia dipanggil untuk mengisi ceramah di sana.
‘’Saya sempat mampir ke bekas rumah saya. Rumah-rumah itu sudah dikuasai warga lokal, dan disewakan dengan harga ratusan ribu dolar Amerika pertahun,’’ ungkapnya. ‘’Tapi saya tidak berusaha mengambilnya lagi, daripada waktu dakwah saya habis untuk mengurusnya,’’ ia menambahkan sambil tersenyum.
Sumitro mengaku saat itu jelas merasa sedih. Namun, pengurus Dewan Dakwah Provinsi Sulsel itu yakin, biyadikal khayr. Ketentuan Allah SWT pasti yang terbaik untuknya.
Kita pun turut trenyuh, membandingkan kesejahteraan para da’i dengan Walang bin Kilon. Mengemis dalam 15 hari, Walang meraup Rp 25 juta. Uang sebanyak itu tersusun rapi dan tersimpan dalam gerobaknya yang menjadi ‘’dagangan iba’’ bersama rekannya, Sa'aran.
Keduanya ditangkap petugas Sudin Sosial Jaksel pada Selasa (26/11/2013) pukul 19.30 WIB di bawah Tugu Pancoran, Jaksel.
Walang mengaku, mengemis untuk modal tambahan naik haji. Dia sudah mendaftar haji di Subang. Di kampung asalnya, dia juga memiliki bisnis ternak kambing. Istri dan ketiga anaknya sehat wal afiat, berkecukupan untuk ukurannya. Anak-anaknya bersekolah secara wajar.
Sementara itu, mukafa’ah (honor) seorang da’i Dewan Dakwah di pedalaman Nusantara, paling tinggi sekitar Rp 500 ribu perbulan. Selebihnya, ‘’minta sendiri ke Allah SWT’’.
Ustadz Syuhada Bahri dalam berbagai kesempatan menuturkan, ia pernah merasa bersalah saat mengirim seorang da’i ke perbatasan NTT-Timor Leste. Karena kehabisan biaya hidup dan tinggal bersama jamaah yang tidak lebih kaya darinya, sang da’i mengganjal perutnya dengan pucuk dedaunan yang bisa dimakan. Ini berlangsung selama sepekan, hingga datang Ustadz Syuhada membesuknya.
Mengetahui keadaannya, Ustadz Syuhada meminta anak buahnya itu pindah ke daerah yang lebih dekat ke pusat kota, sehingga lebih mudah mendapatkan sumberdaya.
Namun, da’i itu keberatan. ‘’Tolong jangan jauhkan saya dari Allah ya Ustadz, karena dengan hidup begini saya justru semakin dekat dengan Allah,’’ katanya mengiba. Dan Ustadz Syuhada Bahri hanya merangkul sambil menyembunyikan tangisnya di punggung da’i tersebut.
KISAH SEMACAMNYA, SILAKAN SIMAK MAJALAH TAZAKKA LAZIS Dewan Dakwah
(Sumber: John Bon Bowie)

,

Recommended