Tuesday, May 13, 2014

Atas Nama Pemberadaban (dan Investasi ?)

Wihartoyo     Tuesday, May 13, 2014    

Sudah sejak 3.000 tahun sebelum Masehi, bangsa Dravida, sebuah bangsa yang berkulit hitam mendiami Lembah Sungai Indus yang subur di India. Jumlah mereka tak sedikit, diperkirakan 100 juta jiwa (1). Komunalitas, harmoni dan keselarasan dengan alam, yang menjadi ciri khas ras kulit berwarna yang juga para petani itu, tiba-tiba harus terusik. Bahkan kemudian tersingkir. Ketika Bangsa Arya, yang datang melalui Pas Kaibar dari stepa Kaukasia yang sudah mereka tinggali sejak 4.500 tahun sebelum Masehi.
Bangsa Arya, kaum penggembala yang sederhana dan suka kedamaian itu mulai berubah, ketika di sekitar 1.500 tahun sebelum Masehi mereka berhasil menaklukkan kuda padang stepa dan mengikatkannya pada kereta, mereka mengalami kenyamanan mobilitas. Alat tansportasi itu mereka padukan dengan ilmu persenjataan yang mereka dapat dari orang-orang Armenia. Dengan peralatan perang yang bisa bergerak cepat itu, mereka bisa melakukan serangan kilat kepada para tetangga dan mencuri ternak serta tanaman mereka. Mereka kemudian mengangkat dewa baru, yakni Indra, sosok heroik si penyembelih naga yang mengendarai kereta perang di atas awan-awan langit lengkap dengan panah apinya. Para koboi Arya merasakan diri mereka bersatu dengan Indra dan kalangan dewa-dewa agresif yang bertugas menegakkan keteraturan dunia dengan kekuatan senjata (2) .
Proses kejatuhan bangsa Dravida ini kemudian diabadikan oleh Walmiki, sastrawan besar Arya, dalam epos Ramayana. Kejatuhan Dravida bukanlah kejahatan, sebab ia bukan kolonialisme. Dravida adalah kaum primitif yang hidup dengan teknologi sederhana, watak hidup harmoni telah menjadikan bangsa Dravida sebagai kaum lemah, yang memang pantas dilindas zaman sesuai prinsip seleksi alam,struggle for life. Arya datang untuk memberadabkan Dravida. Sosok Rama yang tinggi besar, atletis, berkulit putih, tampan dan baik hati itu adalah pahlawan yang bertugas melepaskan kaum Dravida dari Rahwana, rajanya yang jahat, berkepala sepuluh dan suka makan daging manusia (3).
Untuk menjaga stabilitas pasca penaklukan, maka kaum Arya mendaulat diri mereka sebagai Brahmana dan Ksatria, dua kasta tertinggi dalam agama baru mereka. Brahmana adalah pusat semesta, tempat hukum dan kebijaksanaan lahir, dan Ksatria adalah para pelaksana kekuasaan dunia. Mereka mewakili Brahma sang pencipta dan Wisnu sang penjaga. Kaum Dravida tetap harus dicurigai, sebab mereka adalah pengikut Syiwa sang dewa perusak yang berkulit hitam. Oleh karena itu, mereka hanya pantas menyandang gelar paria, kaum budak, pekerja kasar, buruh panggul, dan mungkin centheng lahan parkir adalah jabatan tertinggi bagi mereka. Kaum Dravida yang bersedia mengikuti tata hidup Arya diberi kesempatan untuk masuk ke dalam kasta Sudra (4) , tempat para pedagang berkumpul dan beraktifitas. Gegar politik penaklukan itu terasa di India modern yang katanya demokratis itu. Kaum Dravida yang berkulit hitam, kerempeng dengan dahi berkerut karena tekanan hidup masih merupakan wajah utama dari kampung-kampung miskin dan kumuh di India.
Kegemaran berperang kaum Arya, juga membawa mereka bergerak untuk menaklukkan bumi nusantara. Sebuah kepulauan tempat para pelaut ulung. Di era 500 tahun sebelum masehi, nekara perunggu, salah satu produk unggulan kepulauan nusantara, telah menembus pasar Afrika. Teknologi kapal para pelaut nusantara menyebabkan perdagangan internasional pada saat itu, bahkan kerajaan besar seperti China, sangat tergantung pada pelaut nusantara. Hal ini dikemukakan dengan apik oleh Robert Dick Read dalam buku Para Penjelajah Bahari, yang sudah diterbitkan oleh Mizan. Komoditas para pelaut nusantara makin beragam, tak hanya nekara perunggu tapi juga emar yang dihasilkan di Swarnadwipa bahkan pertambangan emas tertua di Afrika, yakni di Zimbabwe, konon di bangun oleh para pelaut nusantara. Ada juga komoditas beras yang berpusat di Jawadwipa, rempah-rempah dari Maluku dan parfum untuk para Raja yang hanya bisa diproduksi di Barus Sumatera.
Kekayaan Alam nusantara itu membangkitkan kembali semangat penaklukan kaum Arya. Pergolakan di India Selatan, akhirnya mengantarkan pasukan Arya yang tersingkir masuk ke kepulauan nusantara. Prinsip-prinsip hidup komunal, harmoni dalam masyarakat nusantara akhirnya berganti dengan konsep negara yang hierarkhis dibawah persekongkolan kaum Brahmana dan Ksatria. Di Kalimantan muncul Kutai Kertanegra, di Jawa Barat muncul Tarumanegara, di Palembang berdiri Sriwijaya. Nama-nama baru yang masih bertutur dan menulis dengan bahasa ibu mereka di India Selatan, berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta (5). Dan sekali lagi untuk itu, mereka menciptakan lagi mitos pemberadaban. Penaklukan itu, ditujukan untuk masyarakat nusantara yang primitif, yang tidak punya daya saing, yang masih bodoh. Kalau penaklukan Dravida oleh kaum Arya diabadikan dalam epos Ramayana, penaklukan atas Rahwana. Maka “pemberadaban” nusantara dilakukan oleh seorang bangsawan terdidik yang bernama Aji Saka, yang mengajari baca tulis dan membebaskan nusantara dari rajanya yang jahat, yakni Prabu Dewata Cengkar, yang hobi makan daging manusia.
Sebuah epos yang beraroma plagiasi yang anehnya kini harus diamini.
(Bersambung ke hilangnya kultur Maritim Bangsa Indonesia ... entah kapan nulisnya).
Rujukan :
1. H.J. Van Den Berg dkk, Dari Panggung Sejarah Dunia (Djakarta – Groningen : J.B. Wolters, 1952) hal. 17
2. Karen Amstrong, The GreatTransformation, Awal Sejarah Tuhan, (Bandung : Mizan, 2006) hal. 6-7.
3. Untuk mendapatkan kisah lengkap penaklukan Alengkadiraja oleh Rama bisa dibaca di buka Rahuvana Tatwa karya Agus Sunyoto.
4. Van Den Berg, Idem, hal. 19
5. Untuk membaca lebih lengkap tentang kolonialisme bangsa India ke nusantara silakan baca buku karya Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal di Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Pra Sejarah – Abad XVI), (Yogyakarta : Mitra Abadi, 2006).

ASELI COPAS DARI TULISANNYA YAI ARIF WIBOWO

Recommended